Yee
Lan menuju ke puncak bukit, duduk di ujung tebing dan mulai memandang ke bawah.
Jauh menembus awan, pandangannya menerawang menyapu desa. Ah, apa lagi
pemandangan hari ini yang kan dilihatnya, apakah tukang daging sudah memaafkan
anak gadisnya, ataukah tetap mengusirnya. Yee Lan tidak sependapat bahwa itu
sepenuhnya kesalahan anak gadis yang malang
itu sampai dia hamil diluar nikah. Bagaimana nasibnya kalau dia malah
diusir dari rumah. Lalu bagaimana kabar si tukang kayu hari ini? Apakah anak
laki-lakinya yang kurang ajar dan tidak tahu diri itu masih tidak bersedia
masuk hutan untuk membantu ayahnya? Alasan apa lagi yang digunakannya hari ini
untuk tidak membantu? Berpura-pura sakit lagi? Huhhhh, Yee Lan geram sekali
dengan anak muda itu, dasar pemalas. Memang susah berada di atas sini tanpa
melibatkan emosi. Sayang mereka tidak boleh campur tangan dengan urusan semua
manusia di bawah.
“kakak,
apa yang kakak lakukan di sini?
Haahhhhhh melihat lagi di bawah? Tidak bosankah setiap hari kakak melihat
kelakuan mereka? Apa sih yang menarik?” Kim lan adik perempuannya melayang bak
terbang kearah batu di ujung tebing tempat dia duduk.
Yee
Lan hanya tersenyum, tidak sukakah kau menonton drama? “
“ Saya suka nonton pertunjukan panggung sandiwara.”
Kim lan memandang tak mengerti arah pertanyaan Yee Lan.
“
Di bawah inilah panggung sandiwara yang sebenarnya, dimana drama kehidupan
dipentaskan.”
“Oh
ya? aku tidak paham maksudmu,” bidadari muda itu mengerutkan dahinya.
“Kelak engkau kan paham segalanya saat
waktunya tiba…”
“Kapankah
itu, kapan? Aku sudah tidak sabar menjadi pintar seperti kakak. Kapan waktunya
tiba kak?” Kim Lan tidak sabar bertanya sambil menarik-narik jubah kakaknya.
Yee Lan tersenyum berkata,”kapan waktunya
tiba, tak ada yang tahu, namun satu hal, itu akan menjadi waktu yang paling
tepat untukmu.” Yee Lan memeluk Kim Lan penuh kasih.
Setelah
kim lan berlalu meninggalkan dirinya dalam kesepian yang hening, pandangannya
kemarin menerawang… teringat dia akan kekasihya yang sekarang masih mengelana
di bumi dalam wujud serigala. Setiap bulan ketika purnama tiba, sang kekasih
akan menuju puncak bukit, melolong panjang sambil memandang ke bulan,
menyampaikan pesan dan kerinduannya pada Yee Lan. Namun hanya setiap malam purnama
ke tujuh setiap tahun keduanya diijinkan bertemu an Yu Nan kembali wujud
manusia. Dan ini sudah berlangsung ribuan tahun, menjadi saat penantian dari
setiap helaan napasnya.
Ingatannya
terbang ke saat itu terjadi, dimana Yee Lan bersama beberapa bidadari lain turun
ke bumi. Belum pernah dia bertemu dengan seorang manusiapun yang menawan
hatinya seperti ini. Yu Nan, seorang pemanah, pemburu yang seharusnya jenis manusia
sangat di bencinya, si perusak kehidupan. Itu label dari dia sebelum dia bertemu
dengan Yuh Nan, yang membuatnya mencoba memahami manusia, bahwa apa yang
dilakukannya hanyalah demi kelangsungan hidupnya.
Yee
Lan pun semakin sering turun ke bumi, sendiri dengan menyamar sebagai gadis
dari desa sebelah. Demikian berlangsung hamper setiap hari hingga ayahandanya
mengetahui. Saudarinya yang iri telah mengadukannya ke ayahandanya sehngga sang
raja langit begitu murka. Titah sudah turun, tak terbantah, Yee Lan dilarang
untuk menginjakkan lagi kakinya ke bumi. Karena Yee Lan membantah, kekasihnya
pun di kutuk menjadi serigala.
Menyesalkah?
Pertemuan setahun sekali tetap begitu indah dari pada kenihilan yang membunuh
napas jiwanya. Setahun sekali yang dinanti, malam purnama ketujuh, dimana Yee
Lan akan melayang turun ke bumi, mengenakan jubah terindahnya, untuk berjumpa
dengan kekasihnya yang menantinya di puncak bukit dalam wujud manusia. Keduanya
bersua melepas kerinduan dan memadu kasih sebelum fajar tiba, saat Yee Lan
harus kembali pulang ke langit. Terlambat sedikit saja, ketika matahari terbit
dan dia belum kembali ke langit, selamanya dia akan menjadi manusia dan
terperangkap di bumi, begitu ancaman Ayahandanya.
Pagi
yang begitu cerah, namun kalah dengan cerahnya hati Yee Lan. Bagaimana tidak?
Malam ini adalah purnama ketujuh. Artinya malam ini dia akan dapat berjumpa
dengan kekasihnya. Hatinya bahagia tak terkira. Sudah beberapa malam ini ia
tidak dapat tidur. Bibirnya selalu tersungging, hatinya selalu ingin tersenyum.
Seisi kahyangan kembali berbisik-bisik. Ah si Yee Lan kembali kumat, biasa
setahun sekali. Banyal juga yang mencibir, hanya bidadari sinting yang bisa
terpikat manusia bumi. Tidak sedikit juga saudarinya yang terang-terangan
memusuhinya,”tempatmu seharusnya sudah tidak di sini, sejak keputusan itu kamu
buat.” Namun semua itu sudah dapat ditanggungnya tanpa beban. Semua cercaan itu
sudah diterima sebagai risiko dari pilihannya. Ibundanya sampai meneteskan air
mata haru, “anakku, bahagia sekali Ibu bisa melihatmu tersenyum kembali. sudah
lama Ibu ingin melihatmu bisa tersenyum lagi, ibu ingin engkau kembali seperti
dulu, ceria penuh tawa, bisakah anakku?” Yee Lan bersimpuh dikaki Ibundanya dan
berkata,”maafkan aku ibu, jika aku ternyata mengecewakan ibu. Bahagiaku adalah
ketika aku bisa bersama kekasihku tercinta. Saat ini aku tersenyum karena hari
bahagiaku segera tiba. Namun ketika aku pulang meninggalkannya di sana,
kebahagianku juga tertinggal bersama dia.”
Sang Ibunda meneteskan air mata dan berucap,”semoga suatu hari ini
langit akan terharu dengan tulusnya cintamu, dan mengijinkan kalian untuk
bersatu.”
Yee
Lan sambil bersenandung indah kembali duduk di atas tebing dan menatap ke bawah
desa. Ah, bahkan hari ini pun suasana terasa jauh lebih indah, desiran angin,
segala bunga dan rumput pun serasa bernyanyi bersamanya menciptakan melodi yang
begitu mempesona. Tapi hey, apa yang terjadi di bawah sana? Sepertinya ada
ribut-ribut di rumah si kepala desa. Tuan tanah yang sombong, Yee Lan tidak
suka dengan manusia satu itu. Bisanya hanya menggunakan harta dan kekuasaannya
untuk mendapatkan jabatan. Mengeruk keuntungan dari rakyat, jauh dari pemimpin
yang baik. Bisa gempar juga rumahnya, apa yang terjadi? Biasanya hanya gegap
gempita pesta pora yang terdengar dari rumah megah bak istana itu.
Oh
rupanya, putri tunggal sang kepala desa, baru saja memohon restu dari ayahnya
agar diijinkan menikah dengan anak laki-laki si tukang sayur. Jika ayahnya
merestui, putra si tukang sayur akan segera melamarnya. Walaupun hatinya ragu,
namun dia tetap maju.
“Appaaaaa???!!!”
si tuan tanah yang juga menjabat kepala desa menggebrak meja. Saking kuatnya,
Pei Huang, putrinya hampir terlompat dan istrinya yang tidak pernah berani
bersuara pun tersentak pucat.
“Apa
kamu sudah gilaaa???” dua tamparan keras mendarat di pipi Pei Huang. Rasanya
sakit sekali, tapi jelas, lebih perih lagi yang dirasakan hatinya.
“siapa
yang mendidikmu hingga dungu begini???” sambil menoleh ke istrinya, “Pasti
kamu, perempuan bodoh tak berguna. Bagaimana kamu mendidik anakmu heh, sampai
dia bisa keluar dari rumah dan bergaul dengan rakyat jelata itu??” Dia
menghardik istrinya dengan geram, matanya melotot dan tangannya terkepal.
Setiap saat kepalan itu bisa saja dilepasnya ke wajah atau muka seseorang.
Temperamennya sungguh buruk.
“a..a…anak
itu hmm sering mengantar pesanan sayur ke..ke..kemari,” istrinya menjawab
tergagap-gagap, jantungnya mau copot, lidahnya kelu sulit bicara. Syndrome itu
sudah muncul sejak dinikahkan oleh ayahnya ke pria kasar ini.
“TOLOLLLL,
dasar dua perempuan tolol. Kurang ajar sekali anak itu, tidak tahu diri? Apa
tidak sadar dia siapa dirinya. Mulai hari ini dia tidak boleh lagi menginjakan
kakinya di rumah ini, kalau sampai nongol lagi, akan kucincang dia! Kuhabisin!
Dan kamu! Kalau berani bertemu dia lagi, kupatahkan kakimu, dengar itu!”
Napasnya memburu seperti naga menghembus api.
”Pei
Huang, kamu harus ingat siapa dirimu, asal kamu tahu, beberapa pejabat dari
kota sudah mau melamarmu untuk anak laki-lakinya. Dan aku belum memutuskan
memilih yang mana. Masih kupertimbangkan siapa kira-kira yang dapat memberikan mas
kawin yang lebih baik hahahaha….siapa yang bisa memperkuat posisiku. Aku
mengincar posisi Bupati hahahahahah kamu tidak usah khawatir tidak mendapat
suami. Ayah akan memilih yang terbaik untuk menjadi menantuku hahahhahahahaha.”
Dia pun berlalu begitu saja dari ruangan itu meninggalkan Pei Huang yang
menangis pilu dan ibunya yang mengelus-ngelus rambut putrinya dengan lembut.
“Ibu,
aku sebenarnya sudah menduga bahwa ayah tidak akan setuju. Dan kamipun sudah
membuat sebuah rencana. Kami akan lari ibu, pergi meninggalkan desa kita.”
“Apa??
Kamu mau minggat, meninggalkan ibu?” sang Ibunda kaget bukan kepalang. Anaknya
yang begitu lemah-lembut dan tidak pernah memutuskan apapun seumur hidupnya,
mau minggat??
“Ampuni
aku ibu, tapi aku tidak melihat cara, bagaimana bisa tetap bersamanya jika aku
tetap di sini, bagaimana aku hidup nanti, tidak masalah, selama bersama dia,
aku akan baik-baik saja.”
Istri
sang tuan tanah berpikir keras. Sudah 20 tahun dia hidup dalam kecemasan dan
ketidakberdayaan. Dia tidak ingin anaknya menderita seperti dia. Ayahnya adalah
juga seorang kepala desa di wilayah lain. Tidak pernah sekalipun dia mengeluh
karena malu pada ayahnya, sudah begitu lama semuanya dia tanggung sendiri.
“Pergilah
anakku.. “ lirih suaranya hamper tidak terdengar
“benarkah?
Ibu merestui kepergianku” Pei Huang hamper tidak mempercayai apa yang dia
dengat.
“Ya,
pergilah, ambil kesempatanmu untuk bahagia. Mungkin ini jalan satu-satunya.”
Sang ibu berusaha tersenyum diantara deraian air mata.
“oh
terima kasih ibu, terima kasih….” Pei Huang memeluk ibunya erat-erat. Bukannya
dia tidak mengetahui beban bantin ibunya selama ini, hatinya sangat iba.
“Ayahmu
mungkin akan menganggapmu sudah mati ketika tahu engkau menghilang, namun
setidaknya ibu tahu jiwamu hidup, dari pada engkau tetap tinggal disini namun
jiwamu mati.”
Yee
Lan menangis, lebih kuat tangisannya dari pada tangisan Pei Huang. Duduk
tersungkur memeluk sebuah batu besar, dia menangis sejadi-jadinya. Yee Lan
seolah melihat cermin dirinya sendiri. Pagi ini dia telah belajar dari seorang
anak manusia. Pagi ini Pei Huang telah mengajarkan dia tentang keberanian, pengorbanan,
berani mengambil risiko. Sesuatu yang tidak dia miliki hingga ribuan tahun ini.
Membiarkan sang kekasih menghadapi takdirnya di bumi seorang diri, adilkah dia.
Tiba-tiba dia bangkit dan tersenyum, kakinya mantap melangkah kembali ke
istana.
Yee
Lan memang bidadari tercantik di kahyangan, wajahnya sangat rupawan, anggun,
memancarkan kebaikan dan kelembutan. Ketika kakinya menginjak bukit, segera dia
berlari memeluk kekasihnya Yu Nan.
“Engkau
tidak akan sendiri lagi?”
“Apa
maksudmu?”
“Tidak
apa-apa,” Yee Lan hanya tersenyum menggandengnya pergi.
Ketika
Fajar hampir menyingsing, Yu Nan memeluknya semakin erat..
“Ini
adalah saat terpedih untukku, ketika harus melepasmu pergi,” Yu Nan mulai
menangis.
“Aku
tidak akan pernah melepaskan pelukanku lagi” Yee Lan membalas pelukan
kekasihnya lebih erat lagi.
“Sebentar
lagi matahari muncul, engkau harus pergi Yee Lan”
“Tidak,
aku akan tinggal bersamamu disini”
“Apa
yang kamu lakukan? Tidak, kamu harus kembali, kalau tidak selamanya engkau
tidak akan bisa pulang lagi.” Yu Nan berusaha melepaskan pelukannya.
“Aku
memang tidak ingin kembali. Adalah pilihanku untuk tinggal di bumi.”
“Sebentar
lagi aku juga akan kembali ke wujud serigalaku, untuk apa kamu di sini?”
“Aku
akan menantimu disini, menjadi manusia, tinggal bersamamu sekalipun wujud kita
berbeda.”
“Oh
Yee Lan…” Yu Nan menangis sangat terharu.
Mereka
terus berpelukan, Langitpun mulai terang. Dari dalam kepalanya, Yee Lan
mendengar suara Kim Lan yang mencarinya,
“Yee
Lan, apa yang terjadi, mengapa engkau belum kembali? Aku dan ibu
mengkhawatirkanmu.”
“Kim
Lan, Ibu, aku tidak akan kembali. Aku sudah memilih takdirku menjadi manusia di
bumi.” Yee Lan berkata mantap sekali, “Maafkan aku, Ibu, sampai jumpa jika
berjodoh lagi.”
Matahari
pun mulai muncul, pertanda waktunya sudah habis, Yee Lan merasakan seperti ada
spirit kekekalan yang lepas dari dirinya. Dia memungut sebuah ranting, dan
menggorekan ke lengannya, berdarah! Aha! Dia sudah seutuhnya menjelma menjadi
manusia. Namun saat itupun dia menjerit melihat Yu Nan perlahan berubah wujud
menjadi seekor serigala kembali.
Tiba-tiba
langit menggelegar seperti suara petir,
“Yee
Lan!” itu suara ayahnya.
“Berani sekali melanggar perintahku.
Sekarang terimalah hukumanmu! Terima takdir barumu menjadi manusia, merasakan
penderitaan. Engkau sudah terusir dari kahyangan dan tidak dapat kembali
selamanya. Namun karena kekuatan cintamu, serigala itu dapat terlahir menjadi
manusia kembali di kehidupan berikutnya”
Yee
Lan bersujud hingga ke tanah pertanda dia menerima segalanya. Hatinya tetap
bahagia. Dia tahu dia telah melepaskan kekasihnya dari kutukan. Mungkin saja
ada kesempatan bagi mereka berjodoh dikehidupan berikutnya.
by Fiona Wang
sekali kali menghibur Sahabatku dengan menulis Cerpen or Cerbung hehehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar