Seratus
tahun telah berlalu. Pagi itu Seorang pria muda berjalan di pasar. Langkahnya
terhenti mendengar nyanyian dari dalam kedai teh.
“wah
merdu sekali…” dia berusaha mengintip dari luar, tidak berani masuk karena
tidak memiliki cukup uang.
“wah,
pasti ini orangnya, penyanyi yang sering diundang ke acara-acara. Cantik
sekali…pantas menjadi buah bibir di pesta panen kemarin.”
“hey!
Kamu mengintipku ya?” Gadis itu sudah berada tepat dihadapannya, dari dekat,
lebih-lebih lagi cantiknya.
“betul,
eh maksudku tidak tidak, bukan begitu,” San Bao gelagapan kepergok Ie Lin.
“apa
maumu disini?” Ie Lin sok galak.
“anda
cantik sekali nona, eh tidak, maksudku bukan, suara nona merdu sekali” aduh
kenapa dia jadi gagap begini? Jantungnya berdebar, tidak tidak tidak, dia
terlalu cantik untukmu.
“benar
kamu suka suaraku,” Ie Lin juga heran mengapa dia menjadi senang begini. ”besok
malam, aku diundang menyanyi dibalai kota. Engkau boleh datang menonton. Bilang
saja kamu temanku.” Hah? Sejak kapan dia gampang akrab dengan orang asing.
Namun
pria ini bukan orang asing. Ie Lin menyadari dia memiliki kemampuan lebih
dibandingkan dengan manusia yang lain. Seperti indera ke enam. Dia bisa
berbicara dengan roh, melihat apa yang tidak dilihat orang lain. Dan intuisinya
bukan main. Dia juga memiliki bakat music yang luar biasa, memetik kecapi,
harpa dan menyanyi. Suaranya bak emas bertahta berlian, itulah sebabnya dia
menjadi penyanyi, bahkan sering diundang ke acara walikota. Yang ingin
memperistrinya juga banyak, dari pejabat teri hingga pejabat tinggi, namun Ie
Lin tidak sudi menjadi gundik mereka.
Malam
itu Ie Lin bermimpi, aneh sekali… badannya panas tapi berkeringat dingin, dia
mengalami kembali semua kejadian di atas bukit. Wajah bidadari itu, wanita itu
adalah dirinya! Dan pria yang berubah menjadi serigala itu, pria yang tadi
siang dia ketemu di kedai the. Ah, Ie lin terbangun kaget, napasnya
ngos-ngosan, aduh dia demam tinggi sekali. Minum, mana minum, Ie Lin meraih
secawan air disamping dipan tidurnya, dan direguk habis. Wah ini bukan mimpi,
walaupun tidak tahu apa namanya namun Ie Lin tahu ini bukan mimpi. Dengan semua
kelebihan yang dia miliki, dia tahu ini adalah sebuah penglihatan kehidupan
dulu. Rupanya ini jawaban dari perasaan ketersambungan yang dia rasakan ketika
bertemu pria ini nanti siang. Aku sudah bertemu dengan jodohku… Ie Lin
tersenyum dan tertidur kembali.
Ie
Lin sedang bersiap-siap untuk manggung, petunjukannya nanti malam dihadiri oleh
Bupati. Mereka harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Kelompok
menyanyi ini dikelola oleh ayahnya sendiri yang semenjak dulu mengadakan
pertunjukan keliling. Sejak Ie Lin aktif berperan, kelompok ini mendapatkan
bintang baru. Bintang yang kian hari kian bersinar terang. Ayah dan ibunya bangga
sekali padanya. Mereka berharap suatu hari nanti Ie Lin bisa menikah dengan
seorang pejabat, menjadi selir atau gundikpun tidak apa-apa. Yang penting
mendapat suami yang berpengaruh dan bisa membantu keluarga mereka.
Dia
datang tidak ya, hanya itu yang ada di kepala Ie Lin.
“kenapa
kamu kelihatan gelisah Ie Lin, sedang menunggu seseorang” tegur ibunya yang
dari tadi melihat anaknya celingak-celinguk seperti mencari seseorang di tempat
duduk penonton.
“engga
kok bu.” Ie Lin cepat2 masuk ke kamar rias.
“cepat,
persiapkan dirimu” penonton sudah berdatangan.
Malam
itu Ie Lin dengan suara emasnya memukau penonton dengan lagu yang menggambarkan
rembulan. Penonton sampai ada yang meneteskan air mata menghayati nyanyiannya
yang mengisahkan bagaimana rembulan mewakili hati dan cinta sepasang kekasih
yang terpisah. Di tengah nyanyian, dia melihat pria yang dinantinya, San Bao
yang kelihatan begitu canggung. Dia kelihatan tidak biasa berada di tempat
ramai seperti itu, Ie Lin tersenyum, seorang pria desa yang lugu. Apakah dia
bisa baca tulis? Ah mengapa kamu ini, Ie Lin malu dengan pemikirannya sendiri.
Walaupun
sebenarnya ragu dan malu, San Bao memaksakan dirinya datang ke balai kota. Dia
tidak suka dengan keramaian, tempat kedamaian adalah rumahnya yang sederhana di
tepi desa. Tapi demi menghormati gadis cantik yang mengundangnya kemarin siang
dia memaksakan diri untuk datang. Gadis itu sungguh cantik, wajah rupawan yang
sering muncul di mimpi-mimpinya. Sungguh tak menyangka, ada orangnya sungguhan,
selama ini dia piker yang dilihat dimimpinya adalah bidadari yang mungkin
pernah ia lihat lukisannya di satu tempat. San Bao malah sempat berpikir,
apakah ada wanita secantik itu, paling hanya ada di khayalannya saja. San Bao
pandai melukis, di gudangnya penuh gulungan lukisan wanita itu, dalam berbagai
posisi. Namun dari semua, yang paling disukainya adalah lukisan wanita itu
bersama seekor serigala hitam yang besar. San Bao tidak tahu mengapa dia
melukis demikian, ide itu datang begitu saja, dan menghasilkan masterpiece nya
yang luar biasa indah. Sayang sekali semua lukisannya tidak bisa dia pajang,
semua harus disembunyikan. Apa kata ibunya nanti, lebih mudah buat San bao
menyembunyikan lukisan-lukisan itu daripada menjelaskan kepada ibunya, siapa
wanita di lukisan-lukisan itu.
Hatinya
sempat bergumul, pergi – tidak, pergi tidak… segenap jiwanya ingin pergi tapi
ada secuil perasaan bersalah kepada Li Hua. Ah.. Li Hua, maafkan aku, aku hanya
datang untuk mengucapkan terima kasih atas undangannya dan segera pulang. Li
Hua adalah tunangannya. Dijodohkan oleh orang tua mereka sejak kecil. Keluarga
mereka sangat deka dan akrab. Konon ayah San Bao pernah diselamatkan nyawanya
oleh ayahnya Li Hua ketika hamper hanyut terbawa arus sungai. Sejak saat itu
mereka berikrar menjadi saudara, dan kedua anak tunggal masing-masing keluarga
dikatkan dalam perjodohan. Sebenarnya San Bao lebih menganggap Li Hua seperti
adik kandungnya. Mereka tumbuh bersama, bermain bersama, dan saling menyayangi
seperti kakak adik. Rumah mereka memang berdekatan di tepi desa disamping
sungai.
Ie
Lin tersenyum manis kepadanya, dan San Bao membalas dengan menganggukan kepala.
Setelah selesai nyanyiannya dan digantikan oleh pertunjukan permainan kecapi
oleh adik sepupunya, Ie Lin member tanda kepada San Bao untuk menemuinya di
belakang panggung.
“senang
engkau kemari, San Bao. ” Ie Lin merasa senang sekali. Lebih senang melihat San
Bao yang datang dibanding dengan petunjukkannya dihadiri menteri sekalipun.
“Terima
kasih nona sudah mengundangku. Ini adalah pertama kalinya saya menonton
pertunjukan.” San Bao sulit menahan getaran di jantungnya, dia tidak pernah
merasakan seperti ini kepada siapapun, termasuk kepada Li Hua. Apakah dia
sedang jatuh cinta, Oh Tuhan, jangan sampai!
“apakah
kamu pernah menghadiri undangan makan ulang tahun sebelumnya? Besok aku
berulang tahun, dan orang-orang kelompok pertunjukan membuat perayaan
kecil-kecilan untukku. Apakah kamu bersedia hadir besok?.” Setengah mati
menahan malu, dengan muka merah, akhirnya berhasil juga Ie Lin mengungkapan
ajakannya. Mau tidak mau karena kelihatannya pria ini amat sangat pemalu. Kalau
dia malu-malu juga, kesempatan pasti akan berlalu begitu saja. Lalu kapan dia
akan bertemu lagi dengan pria di mimpinya ini? Ie Lin bertekad untuk
mengenalnya lebih jauh.
“sungguh,
kamu besok berulang tahun? Kebetulan sekali karena besok juga ulang tahunku
yang ke-17.” San Bao takjub, bagaimana bisa mereka berulang tahun di hari yang
sama.
“serius?
Aku juga berulang tahun yang ke-17. Kalau begitu kamu harus datang ya. Tidak
setiap hari bertemu dengan teman yang ulang tahun di hari yang sama.” Perasaan
Ie Lin sudah naik dari senang ke bahagia.
Sejak
itu mereka sering bertemu. Cinta di hati Ie Lin semakin mekar merekah, dan San
bao pun semakin hanyut di pesona Ie Lin. Dia tahu bahwa dia sudah jatuh cinta
kepada gadis itu. Semakin hari semakin sulit mundur. Seluruh hati dan
pikirannya sudah dipenuhi oleh bayangan Ie Lin, bayangan Li Hua semakin memudar
dan hilang.
“Besok
kami ada undangan untuk pentas di desa sebelah. Aku akan berangkat dengan
beberapa orang dari kelompok pertunjukan, maukah kamu pergi bersama kami?
Anggap saja jalan-jalan ke desa sebelah. Kita bisa berpetualang, pasti seru.”
“Baiklah,
saat kembali ke desa sebelah, kita akan melewati tepi desa, aku akan mengajakmu
mampir ke rumahku.”
“Benar
ya, mengapa aku diajak ke rumahmu, mau dikenalkan ke orang tuamu ya?” Ie Lin
hampir melompat kegirangan.
“Oh
bukan, hanya mengajak kalian mampir sebentar untuk minum the dan istirahat, ada
yang mau kuperlihatkan kepadamu. Orang tuaku bekerja seharian di ladang dan
baru kembali saat senja menjelang.”
San
Bao mengajak Ie Lan ke gudang di samping rumah tempat semua peralatan ladang
disimpan, sementara beberapa orang dari kelompok pertunjukan meminum teh di
dalam rumah. Di bagian atas rak kayu ada sebuah peti kayu besar yang dikunci.
San Bao membuka peti itu dan mengeluarkan puluhan gulungan lukisan. Dia mulai
membuka satu persatu gulungan lukisan itu dan memperlihatkannya kepada Ie Lin.
“Ohhh…
! “ Ie Lin terpekik. “indah sekali lukisan-lukisanmu ini.” Kamu melukisnya
sendiri. “Ini kan aku, yang kamu lukis di sini? Sejak kapan kamu melukisnya,
mengapa ada sebanyak ini? Kita kan baru kenal 2 bulan.”
“Lukisan-lukisan
ini sudah kubuat sebelum aku bertemu denganmu.” San bao menjawab pelan.“Bagaimana
mungkin? Melukis seseorang yang belum pernah kamu ketemu?”
“Aku
melukis wajah Gadis yang sering kulihat di mimpiku, kupikir dia bidadari sampai
aku berjumpa denganmu. Dan lihat, ini adalah lukisan kesukaanku walaupun aku
tidak tahu mengapa melukisnya begitu.” San Bao mengambil gulungan sebuah
lukisan yang diikatnya dengan pita merah.
“Hahhh?”
Ie Lin sangat terperanjat karena apa yang terlukis di kanvas itu adalah apa
yang dia lihat di mimpinya di hari pertemuannya dengan San Bao. Lukisan Sang
Bidadari dan Seekor serigala besar hitam.
“Mengapa
kamu begitu terkejut, seaneh itukah orang melukis gambaran mimpinya?”
“Tidak,
bukan itu Ah Bao, karena itu juga gambaran dari mimpiku.” Ingin sekali Ie Lin
mengatakan, tahukah kamu kalau serigala itu adalah jelmaanmu. Kita sepasang
kekasih yang dikutuk di kehidupan lalu. Bidadari yang terlibat hubungan cinta
dengan seorang manusia. Namun Ie Lin merasa itu belum saat yang tepat untuk
menjelaskan semuanya.
“Mungkin
kita ditakdirkan untuk bersama.” Ie Lin berkata malu-malu.
“Aku…
entahlah…” San Bao gemetar, tidak tahu harus menjawab apa.
“Entah?
Apa maksudmu? Kamu tidak suka?” Ie Lin kaget dengan jawaban San Bao, sama
sekali tidak menyangka. Dia tahu kalau pria yang sederhana dan baik hati ini
juga mencintainya.
“Aku….
Aku tidak bisa menjawabnya sekarang.” Aduh, kepala San Bao berkunang-kunang,
bagamana menceritakan Li Hua kepada Ie Lin dan menjelaskan Ie Lin kepada Li Hua
dan kedua orang tuannya?
“Apaa??
Ya sudah kalau kamu tidak suka padaku, aku pergi.” Ie Lin merajuk dan segera
angkat kaki. San Bao mengejar dari belakang.
“Tunggu
Ah Lin, bukan begitu maksudku. Jangan salah paham.” Namun Ie Lin langsung masuk
ke dalam rumah.
“Ayo,
kemas-kemas sekarang, kita pulang sekarang juga. Jangan lama-lama di tempat
orang yang tidak suka dengan kita.” Wah ternyata Ie Lin ngambek berat.
“Huh,
apa yang salah denganku, apa yang salah? Mengapa aku ditolak sama pria dungu
itu? Ihh…” Sepanjang jalan Ie Lin menggerutu. Orang-orang di kelompok
pertunjukannya tidak berani bertanya, mereka tahu bagaimana tabiat Ie Lin yang
manja kalau sedang merajuk. Ah paling pertengkarang kecil sepasang kekasih,
pikir mereka.
Malam
itu, San Bao memberanikan diri menghadap ayah dan ibunya. Dia menceritakan pertemuannya
dengan Ie Lin, dan mengakui telah jatuh cinta pada gadis itu. Apa yang harus
dia perbuat. Ibunya kontan menangis dan ayahnya menjerit.
“Tidak
bisa, kamu tidak bisa berbuat begitu! Tidak bisa, kamu sudah bertunangan dengan
Li Hua sejak 5 tahun. Kamu tidak bisa membatalkannya. Mau ditaruh dimana muka
ayah? Mau ditaruh di mana kehormatan keluarga kita? Ikatan ini dibuat sebagai
penghormatan ayah kepada ayah Li Hua yang telah menyelamatkan nyawaku. Dari
pada kamu membatalkannya, lebih baik kamu membunuhku!”
Harga
matilah sudah. Sempat terbersit di pikirannya untuk meminta penertian Li Hua,
jika gadis itu mau memahami dan mundur mungkin semua orang bisa mengerti. Ah
tidak, pemikiran tolol apa pula itu. Selama ini hanya San Bao dan orang tuanya
yang ada dikehidupan Li Hua. Tidak mungkin dia sanggup menerimanya.
Dengan
lunglai San Bao melangkah ke tempat pertunjukan Ie Lin. Dia harus segera
menjelaskan apa yang harus dijelaskan. Sudah beberapa hari mereka tidak
bertemu, selama itu juga San Bao bertarung dengan dirinya sendiri. Dengan
seluruh hatinya dia bisa mengajak Ie Lin pergi. Tapi pikirannya tidak
mengijinkan semua itu terjadi, apa yang akan terjadi dengan ibunya yang sudah
tua, rapuh dan sakit-sakitan. Ayahnya yang menderita penyakit jantung, bagaimana
jika Li Hua bunuh diri. Dia tidak sanggup mengorbankan semua orang yang
dikasihinya sekalipun itu demi kebahagiannya.
Maka
berdirilah dia sekarang di sini, menatap Ie Lin yang sedang memetik harpa dalam
gundah. Dentingan dawai harpa berhenti, Ie Lin mengangkat kepalanya,
“mau
apa kamu kemari?” walaupun hatinya menjerit senang.
“aku
perlu berbicara kepadamu dan menjelaskan beberapa hal.” San Bao tidak sanggup
menatap wajah Ie Lin.
Ie
Lin akhirnya mempersilahkan San Bao duduk. Hatinya berdebar-debar cemas melihat
penampilan San Bao yang begitu kusut. Hatinya tidak enak, sesak dan menekan ulu
hatinya.
“Ie
Lin, jangan salah paham, aku sangat menyukaimu. Bahkan aku sangat mencintaimu.
Tapi aku tidak bisa bersamamu, karena aku sudah bertunangan, dijodohkan dari
kecil oleh orang tuaku.” San Bao mulai bercerita sambil terus menunduk. Ie Lin
hampir pingsan mendengarnya.
“Mulai
sekarang, sebaiknya aku tidak datang menemuimu lagi. Engkau bisa melanjutkan
hidup dan masa depanmu yang pasti akan jauh lebih baik jika tidak bersamaku.”
Ie Lin menangis tidak kuasa menahan perasaannya. Dia tidak sanggup berkata
sepatah katapun. Udara seolah-olah berputar, dia merasa sangat pusing.
“Selamat
tinggal Ie Lin, aku selalu mendoakan kamu bahagia.” San Bao berdiri, melangkah
keluar dari ruangan tanpa menoleh lagi. Dia tahu dia baru saja mematahan hati
Ie Lin, seperti dia baru saja menghancurkan hatinya sendiri.
“Badanmu
panas sekali nak…” Ibu Ie Lin cemas, “kamu sakit apa Ah Lin, mengapa badanmu
demam tinggi begini?” sepulang dari tempat pertunjukan, Ie Lin langsung
mengurung dirinya di kamar dan tidak keluar-keluar lagi hingga ibunya
mencarinya sore hari.
“Ibu
akan memanggil tabib, nak.”
“Aku
tidak apa-apa ibu, besok aku akan baik-baik saja. Mungkin aku kecapekan.”
Tapi
keesokan harinya Ie Lin bahkan tidak bisa bangun. Demamnya semakin tinggi, dan
menggigau. Di mimpinya dia menyebut-nyebut “Ah Bao..Ah Bao..”
Ayah
dan Ibunya bingung siapa nama yang disebut-sebut anak gadisnya.
“kamu
tahu siapa Ah Bao? “ Tanya ayah Ie Lin.
“Tidak.
Kamu juga tidak tahu? Mungkin anak-anak rombongan pertunjukan tahu.”
“Coba
Tanya mereka.”
Ibunya
kembali tak lama kemudian dengan lesu.
“Kata
Ah Cin, Ah Bao itu nama anak laki-laki teman bermain Ie Lin, dan sepertinya
mereka mempunyai hubungan khusus”
“Oh…
siapa anak itu. Siapa orang tuanya.”
“Beberapa
anak rombongan pernah bermain ke rumahnya. Dia anak peladang miskin yang
tinggal di tepi desa. Apakah kita cari dan bawah kemari.”
“Tidak
usah!” ayah Ie Lin menjawab ketus. “Ah Lin segera akan melewati masa-masa
sulitnya.”
Namun
racauan Ie Lin menjadi-jadi, nama yang disebutkan juga bertambah,”Yee Lan…. Yu
Nan…..”
Orang
tuanya bertambah pusing, siapa pula Yee Land an Yu Nan? Namun kali ini anak
rombongan pertunjukan tidak ada yang mengetahui.
Beberapa
tabib yang diundang tidak dapat menemukan Ie Lin sakit apa. Akhirnya dianggap
Ie Lin tidak sadarkan diri karena demam panasnya terlalu tinggi. Namun
penyebabnya apa, mereka juga tidak mengetahui. Akhirnya tabib-tabib itu hanya
memberikan ramuan obat penurun panas.
Sakit
yang bersumber pikiran dan hati memang tidak tepat diatasi oleh obat untuk fisik.
Badannya pun semakin lemah. Tak seorangpun tahu apa sesungguhanya yang dialami
Ie Lin, selama demam tinggi itupun, jiwanya pergi ke atas bukit. Di sana dia
menangis pilu. Rencana nirwana memang tidak mudah dipahami. Mengapa di
kehidupan inipun mereka tidak dapat berjodoh. Belum cukupkah penantian ribuan
tahun, kapan rantai ini dapat diputuskan. Yee Lan, jiwa yang sama dengan Ie Lin
memutuskan untuk tidak kembali. Jika memang mereka tidak dapat bersatu di
kehidupan ini, dia tidak ingin melanjutkan kehidupan yang sama di dunia,
apalagi ini Yu Nan dalam wujud San Bao yang menolaknya sendiri. Jika dia
menceritakan yang sesungguhnya kepada San Bao, akankah dapat merubah semuanya?
Ataukah dia kembali menempatkan jiwa Yu Nan dalam posisi yang lebih sulit lagi.
Ya, dia telah memutuskan untuk tidak kembali, menunggu di tempat perencanaan,
menunggu Yu Nan agar dapat bersama-sama dilahirkan kembali.
“Ie
Lin.. Ie Lin… sadarlah kau nak…” Ibunya menangis memanggil-manggil nama anaknya
sambil duduk di tepi dipan pembaringan Ie Lin.
“Maafkan
aku ibu…” anaknya menjawab lirih dari atas bukit.
Namun
Yee Lan pun tahu, jika dia tidak bisa menerima takdir ini di kehidupan ini,
jiwanya tidak akan berpulang dengan tenang ke tempat penantian. Dia pun
mengiklaskan bahwa di kehidupan ini belum saatnya berjodoh kembali dengan Yu
Nan dan dia sepenuhnya menerima takdir ini. Seketika itu juga jiwanya tenang
dan tersenyum.
Kepala
dan tangan Ie Lin pun terkulai dan menghembuskan nafas terakhirnya. Jiwanya
melihat ibunya menangis meraung-raung dan ayahnya berlari masuk kamar dan
langsung memeluk jasadnya yang terbujur kaku. Ie Lin melihat semuanya dengan
perasaan damai.
Hari
pemakamam Ie Lin, ramai dihadiri oleh keluarga, anggota rombongan pertunjukan,
tetangga dan penggemar-penggemarnya. Semua orang menyayangkan kematiannya yang
masih begitu muda. Apalagi tersiar desas desus jika Ie Lin meninggal karena
patah hati. San Bao menyeruak di antara kerumunan orang, mencoba berbaur di
keramaian dan berusaha tidak menarik perhatian. Dia tidak ingin bertemu dengan
anggota rombongan pertunjukan yang mengenalnya, apalagi orang tua Ie Lin jika
sampai mengetahuinya. Dia merasa bersalah, sangat bersalah. Hatinya penuh
penyesalan, menyalahkan dirinya sendiri.
“Ie
Lin, bawalah cintaku pergi bersamamu..” San Bao cepat-cepat menghapus air mata
yang jatuh dengan lengan bajunya.
“San
Bao…” tak salah dengarkah? Dia mendengar suara merdu Ie Lin memanggil namanya.
San
Bao menoleh, takjub melihat Ie Lin berdiri tak jauh di belakangnya sambil
tersenyum.
“Ah
Bao, aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal. Ijinkan aku tetap tinggal di
hati dan lukisanmu. Kelak engkau akan mengerti, bagaimana engkau bisa melukisku
jauh sebelum kita pernah bertemu.” San Bao mulai menangis.
“Ikutilah
panggilan takdirmu. Jalani semua pilihan peranmu. Selamat tinggal San Bao, atau
boleh aku memanggilmu Yu Nan, sampai jumpa dikehidupan mendatang.” Ie Lin pun
berlalu sambil tersenyum.
“Yu
Nan, siapa itu?” rasanya San Bao pernah mendengar nama itu. “di mana ya? Oh ya,
dimimpiku.. kalau tidak salah, bukankah bidadari itu memanggil serigala hitam
besarnya dengan nama itu… ah… entahlah… aku tidak mengerti.”
San
Bao melangkah pulang ke rumahnya, yang tenang di tepi desa. Langkahnya kini
lebih ringan dari pada sebelumnya. Setidaknya dia tahu Ie Lan pergi dalam
senyum. Dia pun pulang untuk meneruskan pilihan takdirnya di kehidupan ini,
tanpa dia sendiri mengerti.
The End
“You are what you choose TO BE”
21 Aug 2011
by Fiona Wang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar