Liburan kenaikan kelas telah tiba, selamat kepada Bapak-Ibu
yang berkat doa dan dukungannya telah membantu menghantarkan anaknya sukses
naik kelas.
Sore ini saya mengupdate status FB terinspirasi oleh status
BB, FB (kebetulan saya sedang tugas luar kantor, sedang di jalan jadi bisa
baca-baca BB hehehe) dan juga
kilasan-kilasan curhat beberapa ortu saat mampir ke sekolah anak tadi pagi.
“saat pengambilan rapor seperti sekarang, sering kali ada
orangtua yang merenungi nilai akademis anaknya, kok cuma segini, kok cuma
segitu. mom, dad, jangan lupa bahwa nilai akademis tidak sepenuhnya
mencerminkan intelegensia anak Anda. Menurut Gardner, terdapat 8 kategori
kecerdasan yaitu: cerdas bahasa, cerdas logika, cerdas visual-spasial, cerdas
musik, cerdas diri, cerdas gerak, cerdas alam, dan cerdas sosial. Orangtua yang
smart membantu mengasah kecerdasan yang menonjol dari anak agar bersinar. saya rasa
memang lebih bijak dari pada memaksa matematika harus dapat 100, science 100,
bahasa 100 dll. sekali-kali perlu ditinjau juga, bagaimana kecintaan anak saya
pada lingkungan, bagaimana mereka perhatian dan menyapa teman, opa-oma,
bagaimana mereka menyelesaikan masalah dengan teman misalnya.. semoga semua
anak berbahagia...” FB posted 21062011
Biasanya jika rapor seorang anak jelek, terutama yang masih
SD ya, yang lebih stress adalah orang
tuanya hehehe anaknya mah tenang-tenang aja, stressnya nanti setelah diomelin
orang tuanya. Dari mengamati teman-teman saya melihat bahwa sebagian masih
sangat focus ke prestasi akademik anaknya. Sah-sah saja sih, namun jika sudah
membuat anak stress karena tuntutan yang terlalu tinggi, ya menjadi tidak
sehat.
Saya ingin sharing sedikit pengalaman pribadi berikut, semoga
bisa menjadi insight buat para orangtua yang pasti sangat mengasihi
anak-anaknya.
Kejadiannya mungkin sudah 2 tahun lalu, tapi saya masih ingat
karena belajar sesuatu. Suatu hari, saya berangkat kantor naik shuttle bus dari
dekat rumah. Naik bersama saya seorang ibu bersama seorang anak remaja putri
yang rumahnya juga di dekat kompleks rumah saya., sayapun menyapa mereka, dan
ngajak ngobrol. Si Ibu sangat bersemangat sementara si anak kelihatan sangat
tidak bersemangat, dan sangat pendiam sekali.
Singkat cerita, Si ibu cerita kalau anak remaja putri yang
bersamanya kuliah di sebuah universitas ternama, dan membanggakan bahwa anak
ini sudah 2 tahun berturut-turut mendapat beasiswa karena sangat berprestasi
dengan nilai IPK yang sangat tinggi. Sang Ibu bahkan hafal hingga ke angkanya. Sementara
sang ibu bercerita dengan semangat
berapi-api, si anak hanya diam merunduk dan melihat ke lantai bus dengan
wajah dingin dan datar. Naluri terapis terusik nih, saya merasa ada yang kurang
beres.
Setelah menyatakan apresiasi saya pada si anak berkaitan
dengan prestasi akademis yang diceritakan ibunya, saya mulai mengajaknya
bicara, “ambil jurusan apa?” Sebelum si anak sempat menjawab (tapi memang
sepertinya dia juga tidak berniat menjawab, karena ekspresinya tetap datar),
ibunya sudah menyambar dan menjawab.
Saya mencoba lagi menanyakan sesuatu yang lain, lagi-lagi
ibunya yang menjawab. Saya sengaja memalingkan wajah saya menatap mata anak ini
untuk menunjukkan bahwa saya bertanya ke anaknya ini dan bukan ke sang ibu,
dengan pertanyaan yang lebih personal, suka baca buku apa saja, ya ampun, tetap
juga ibunya yang menjawab! Sejak kapan sang ibu mulai menjadi juru bicara
anaknya ini.
Saat itu saya mencoba berpikiran positif, mungkin anak ini
sedang ada problem, mungkin habis dimarahin atau berantem sehingga begitu bête.
Namun beberapa minggu kemudian ketika saya mendapat kesempatan naik shuttle bus,
berulang lagi kejadian serupa. Suatu hari saya bertemu dengan ibunya sendiri
dan saya bertanya, “anak ibu kelihatannya pendiam ya.” Dan sang ibu membenarkan bahwa memang
begitulah karakter anaknya, selalu seperti itu dan hanya tahu belajar saja.
Seorang ibu yang terlalu dominan dan superior secara tidak
langsung dapat menenggelamkan karakter si anak. Selain itu Kecerdasan Sosial
dari anak perlu diasah dan menurut saya jauh lebih penting dari pada nilai
ujian mata pelajaran/ kuliah Sosial dapat nilai 100. Praktek itu lebih penting
dari pada teori, walaupun tidak berarti terori itu tidak penting. Jika anak
hapal ayat-ayat kitab suci memang sangat bagus, namun bukankah lebih bagus lagi
jika mereka selalu mengucap syukur dan ingat Tuhan di setiap perkara. Multi Intelligence itu penting dipahami oleh
orangtua. Not only IQ, tapi juga EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual
Quotient) dan Q Q yang lain. Saya yakin semua orangtua memiliki spirit yang
sama, agar anaknya selalu sehat dan bahagia lahir batin. Mari kita sama-sama
memekarkan senyum anak-anak di dunia, dimulai dari anak kita.
Salam bahagia,
Fiona Wang
Cherie & Cory’s Mom
Bagi Orangtua yang ingin menguasai teknik Emotional Freedom
Therapy (EFT) for Children dapat menghubungi saya di Fiona.wang889@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar