ORACLE CARDS - LEARN AND ORDER

ORACLE CARDS - LEARN AND ORDER
ORACLE CARDS - LEARN AND ORDER; Find out how this Self Help tool works out.

Minggu, 27 Mei 2012

The Legend of Yee Lan - Part II


Seratus tahun telah berlalu. Pagi itu Seorang pria muda berjalan di pasar. Langkahnya terhenti mendengar nyanyian dari dalam kedai teh.
“wah merdu sekali…” dia berusaha mengintip dari luar, tidak berani masuk karena tidak memiliki cukup uang.
“wah, pasti ini orangnya, penyanyi yang sering diundang ke acara-acara. Cantik sekali…pantas menjadi buah bibir di pesta panen kemarin.”
“hey! Kamu mengintipku ya?” Gadis itu sudah berada tepat dihadapannya, dari dekat, lebih-lebih lagi cantiknya.
“betul, eh maksudku tidak tidak, bukan begitu,” San Bao gelagapan kepergok Ie Lin.
“apa maumu disini?” Ie Lin sok galak.
“anda cantik sekali nona, eh tidak, maksudku bukan, suara nona merdu sekali” aduh kenapa dia jadi gagap begini? Jantungnya berdebar, tidak tidak tidak, dia terlalu cantik untukmu.
“benar kamu suka suaraku,” Ie Lin juga heran mengapa dia menjadi senang begini. ”besok malam, aku diundang menyanyi dibalai kota. Engkau boleh datang menonton. Bilang saja kamu temanku.” Hah? Sejak kapan dia gampang akrab dengan orang asing.

Namun pria ini bukan orang asing. Ie Lin menyadari dia memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan manusia yang lain. Seperti indera ke enam. Dia bisa berbicara dengan roh, melihat apa yang tidak dilihat orang lain. Dan intuisinya bukan main. Dia juga memiliki bakat music yang luar biasa, memetik kecapi, harpa dan menyanyi. Suaranya bak emas bertahta berlian, itulah sebabnya dia menjadi penyanyi, bahkan sering diundang ke acara walikota. Yang ingin memperistrinya juga banyak, dari pejabat teri hingga pejabat tinggi, namun Ie Lin tidak sudi menjadi gundik mereka.

Malam itu Ie Lin bermimpi, aneh sekali… badannya panas tapi berkeringat dingin, dia mengalami kembali semua kejadian di atas bukit. Wajah bidadari itu, wanita itu adalah dirinya! Dan pria yang berubah menjadi serigala itu, pria yang tadi siang dia ketemu di kedai the. Ah, Ie lin terbangun kaget, napasnya ngos-ngosan, aduh dia demam tinggi sekali. Minum, mana minum, Ie Lin meraih secawan air disamping dipan tidurnya, dan direguk habis. Wah ini bukan mimpi, walaupun tidak tahu apa namanya namun Ie Lin tahu ini bukan mimpi. Dengan semua kelebihan yang dia miliki, dia tahu ini adalah sebuah penglihatan kehidupan dulu. Rupanya ini jawaban dari perasaan ketersambungan yang dia rasakan ketika bertemu pria ini nanti siang. Aku sudah bertemu dengan jodohku… Ie Lin tersenyum dan tertidur kembali.

Ie Lin sedang bersiap-siap untuk manggung, petunjukannya nanti malam dihadiri oleh Bupati. Mereka harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Kelompok menyanyi ini dikelola oleh ayahnya sendiri yang semenjak dulu mengadakan pertunjukan keliling. Sejak Ie Lin aktif berperan, kelompok ini mendapatkan bintang baru. Bintang yang kian hari kian bersinar terang. Ayah dan ibunya bangga sekali padanya. Mereka berharap suatu hari nanti Ie Lin bisa menikah dengan seorang pejabat, menjadi selir atau gundikpun tidak apa-apa. Yang penting mendapat suami yang berpengaruh dan bisa membantu keluarga mereka.

Dia datang tidak ya, hanya itu yang ada di kepala Ie Lin.
“kenapa kamu kelihatan gelisah Ie Lin, sedang menunggu seseorang” tegur ibunya yang dari tadi melihat anaknya celingak-celinguk seperti mencari seseorang di tempat duduk penonton.
“engga kok bu.” Ie Lin cepat2 masuk ke kamar rias.
“cepat, persiapkan dirimu” penonton sudah berdatangan.
Malam itu Ie Lin dengan suara emasnya memukau penonton dengan lagu yang menggambarkan rembulan. Penonton sampai ada yang meneteskan air mata menghayati nyanyiannya yang mengisahkan bagaimana rembulan mewakili hati dan cinta sepasang kekasih yang terpisah. Di tengah nyanyian, dia melihat pria yang dinantinya, San Bao yang kelihatan begitu canggung. Dia kelihatan tidak biasa berada di tempat ramai seperti itu, Ie Lin tersenyum, seorang pria desa yang lugu. Apakah dia bisa baca tulis? Ah mengapa kamu ini, Ie Lin malu dengan pemikirannya sendiri. 

Walaupun sebenarnya ragu dan malu, San Bao memaksakan dirinya datang ke balai kota. Dia tidak suka dengan keramaian, tempat kedamaian adalah rumahnya yang sederhana di tepi desa. Tapi demi menghormati gadis cantik yang mengundangnya kemarin siang dia memaksakan diri untuk datang. Gadis itu sungguh cantik, wajah rupawan yang sering muncul di mimpi-mimpinya. Sungguh tak menyangka, ada orangnya sungguhan, selama ini dia piker yang dilihat dimimpinya adalah bidadari yang mungkin pernah ia lihat lukisannya di satu tempat. San Bao malah sempat berpikir, apakah ada wanita secantik itu, paling hanya ada di khayalannya saja. San Bao pandai melukis, di gudangnya penuh gulungan lukisan wanita itu, dalam berbagai posisi. Namun dari semua, yang paling disukainya adalah lukisan wanita itu bersama seekor serigala hitam yang besar. San Bao tidak tahu mengapa dia melukis demikian, ide itu datang begitu saja, dan menghasilkan masterpiece nya yang luar biasa indah. Sayang sekali semua lukisannya tidak bisa dia pajang, semua harus disembunyikan. Apa kata ibunya nanti, lebih mudah buat San bao menyembunyikan lukisan-lukisan itu daripada menjelaskan kepada ibunya, siapa wanita di lukisan-lukisan itu.

 Hatinya sempat bergumul, pergi – tidak, pergi tidak… segenap jiwanya ingin pergi tapi ada secuil perasaan bersalah kepada Li Hua. Ah.. Li Hua, maafkan aku, aku hanya datang untuk mengucapkan terima kasih atas undangannya dan segera pulang. Li Hua adalah tunangannya. Dijodohkan oleh orang tua mereka sejak kecil. Keluarga mereka sangat deka dan akrab. Konon ayah San Bao pernah diselamatkan nyawanya oleh ayahnya Li Hua ketika hamper hanyut terbawa arus sungai. Sejak saat itu mereka berikrar menjadi saudara, dan kedua anak tunggal masing-masing keluarga dikatkan dalam perjodohan. Sebenarnya San Bao lebih menganggap Li Hua seperti adik kandungnya. Mereka tumbuh bersama, bermain bersama, dan saling menyayangi seperti kakak adik. Rumah mereka memang berdekatan di tepi desa disamping sungai.

Ie Lin tersenyum manis kepadanya, dan San Bao membalas dengan menganggukan kepala. Setelah selesai nyanyiannya dan digantikan oleh pertunjukan permainan kecapi oleh adik sepupunya, Ie Lin member tanda kepada San Bao untuk menemuinya di belakang panggung.
“senang engkau kemari, San Bao. ” Ie Lin merasa senang sekali. Lebih senang melihat San Bao yang datang dibanding dengan petunjukkannya dihadiri menteri sekalipun.
“Terima kasih nona sudah mengundangku. Ini adalah pertama kalinya saya menonton pertunjukan.” San Bao sulit menahan getaran di jantungnya, dia tidak pernah merasakan seperti ini kepada siapapun, termasuk kepada Li Hua. Apakah dia sedang jatuh cinta, Oh Tuhan, jangan sampai!
“apakah kamu pernah menghadiri undangan makan ulang tahun sebelumnya? Besok aku berulang tahun, dan orang-orang kelompok pertunjukan membuat perayaan kecil-kecilan untukku. Apakah kamu bersedia hadir besok?.” Setengah mati menahan malu, dengan muka merah, akhirnya berhasil juga Ie Lin mengungkapan ajakannya. Mau tidak mau karena kelihatannya pria ini amat sangat pemalu. Kalau dia malu-malu juga, kesempatan pasti akan berlalu begitu saja. Lalu kapan dia akan bertemu lagi dengan pria di mimpinya ini? Ie Lin bertekad untuk mengenalnya lebih jauh.

“sungguh, kamu besok berulang tahun? Kebetulan sekali karena besok juga ulang tahunku yang ke-17.” San Bao takjub, bagaimana bisa mereka berulang tahun di hari yang sama.
“serius? Aku juga berulang tahun yang ke-17. Kalau begitu kamu harus datang ya. Tidak setiap hari bertemu dengan teman yang ulang tahun di hari yang sama.” Perasaan Ie Lin sudah naik dari senang ke bahagia.

Sejak itu mereka sering bertemu. Cinta di hati Ie Lin semakin mekar merekah, dan San bao pun semakin hanyut di pesona Ie Lin. Dia tahu bahwa dia sudah jatuh cinta kepada gadis itu. Semakin hari semakin sulit mundur. Seluruh hati dan pikirannya sudah dipenuhi oleh bayangan Ie Lin, bayangan Li Hua semakin memudar dan hilang.
“Besok kami ada undangan untuk pentas di desa sebelah. Aku akan berangkat dengan beberapa orang dari kelompok pertunjukan, maukah kamu pergi bersama kami? Anggap saja jalan-jalan ke desa sebelah. Kita bisa berpetualang, pasti seru.”
“Baiklah, saat kembali ke desa sebelah, kita akan melewati tepi desa, aku akan mengajakmu mampir ke rumahku.”
“Benar ya, mengapa aku diajak ke rumahmu, mau dikenalkan ke orang tuamu ya?” Ie Lin hampir melompat kegirangan.
“Oh bukan, hanya mengajak kalian mampir sebentar untuk minum the dan istirahat, ada yang mau kuperlihatkan kepadamu. Orang tuaku bekerja seharian di ladang dan baru kembali saat senja menjelang.”

San Bao mengajak Ie Lan ke gudang di samping rumah tempat semua peralatan ladang disimpan, sementara beberapa orang dari kelompok pertunjukan meminum teh di dalam rumah. Di bagian atas rak kayu ada sebuah peti kayu besar yang dikunci. San Bao membuka peti itu dan mengeluarkan puluhan gulungan lukisan. Dia mulai membuka satu persatu gulungan lukisan itu dan memperlihatkannya kepada Ie Lin.
“Ohhh… ! “ Ie Lin terpekik. “indah sekali lukisan-lukisanmu ini.” Kamu melukisnya sendiri. “Ini kan aku, yang kamu lukis di sini? Sejak kapan kamu melukisnya, mengapa ada sebanyak ini? Kita kan baru kenal 2 bulan.”
“Lukisan-lukisan ini sudah kubuat sebelum aku bertemu denganmu.” San bao menjawab pelan.“Bagaimana mungkin? Melukis seseorang yang belum pernah kamu ketemu?”
 
“Aku melukis wajah Gadis yang sering kulihat di mimpiku, kupikir dia bidadari sampai aku berjumpa denganmu. Dan lihat, ini adalah lukisan kesukaanku walaupun aku tidak tahu mengapa melukisnya begitu.” San Bao mengambil gulungan sebuah lukisan yang diikatnya dengan pita merah.
“Hahhh?” Ie Lin sangat terperanjat karena apa yang terlukis di kanvas itu adalah apa yang dia lihat di mimpinya di hari pertemuannya dengan San Bao. Lukisan Sang Bidadari dan Seekor serigala besar hitam.
“Mengapa kamu begitu terkejut, seaneh itukah orang melukis gambaran mimpinya?”
“Tidak, bukan itu Ah Bao, karena itu juga gambaran dari mimpiku.” Ingin sekali Ie Lin mengatakan, tahukah kamu kalau serigala itu adalah jelmaanmu. Kita sepasang kekasih yang dikutuk di kehidupan lalu. Bidadari yang terlibat hubungan cinta dengan seorang manusia. Namun Ie Lin merasa itu belum saat yang tepat untuk menjelaskan semuanya.
“Mungkin kita ditakdirkan untuk bersama.” Ie Lin berkata malu-malu.
“Aku… entahlah…” San Bao gemetar, tidak tahu harus menjawab apa.
“Entah? Apa maksudmu? Kamu tidak suka?” Ie Lin kaget dengan jawaban San Bao, sama sekali tidak menyangka. Dia tahu kalau pria yang sederhana dan baik hati ini juga mencintainya.
“Aku…. Aku tidak bisa menjawabnya sekarang.” Aduh, kepala San Bao berkunang-kunang, bagamana menceritakan Li Hua kepada Ie Lin dan menjelaskan Ie Lin kepada Li Hua dan kedua orang tuannya?
“Apaa?? Ya sudah kalau kamu tidak suka padaku, aku pergi.” Ie Lin merajuk dan segera angkat kaki. San Bao mengejar dari belakang.
“Tunggu Ah Lin, bukan begitu maksudku. Jangan salah paham.” Namun Ie Lin langsung masuk ke dalam rumah.
“Ayo, kemas-kemas sekarang, kita pulang sekarang juga. Jangan lama-lama di tempat orang yang tidak suka dengan kita.” Wah ternyata Ie Lin ngambek berat.
“Huh, apa yang salah denganku, apa yang salah? Mengapa aku ditolak sama pria dungu itu? Ihh…” Sepanjang jalan Ie Lin menggerutu. Orang-orang di kelompok pertunjukannya tidak berani bertanya, mereka tahu bagaimana tabiat Ie Lin yang manja kalau sedang merajuk. Ah paling pertengkarang kecil sepasang kekasih, pikir mereka.

Malam itu, San Bao memberanikan diri menghadap ayah dan ibunya. Dia menceritakan pertemuannya dengan Ie Lin, dan mengakui telah jatuh cinta pada gadis itu. Apa yang harus dia perbuat. Ibunya kontan menangis dan ayahnya menjerit.
“Tidak bisa, kamu tidak bisa berbuat begitu! Tidak bisa, kamu sudah bertunangan dengan Li Hua sejak 5 tahun. Kamu tidak bisa membatalkannya. Mau ditaruh dimana muka ayah? Mau ditaruh di mana kehormatan keluarga kita? Ikatan ini dibuat sebagai penghormatan ayah kepada ayah Li Hua yang telah menyelamatkan nyawaku. Dari pada kamu membatalkannya, lebih baik kamu membunuhku!”
Harga matilah sudah. Sempat terbersit di pikirannya untuk meminta penertian Li Hua, jika gadis itu mau memahami dan mundur mungkin semua orang bisa mengerti. Ah tidak, pemikiran tolol apa pula itu. Selama ini hanya San Bao dan orang tuanya yang ada dikehidupan Li Hua. Tidak mungkin dia sanggup menerimanya.

Dengan lunglai San Bao melangkah ke tempat pertunjukan Ie Lin. Dia harus segera menjelaskan apa yang harus dijelaskan. Sudah beberapa hari mereka tidak bertemu, selama itu juga San Bao bertarung dengan dirinya sendiri. Dengan seluruh hatinya dia bisa mengajak Ie Lin pergi. Tapi pikirannya tidak mengijinkan semua itu terjadi, apa yang akan terjadi dengan ibunya yang sudah tua, rapuh dan sakit-sakitan. Ayahnya yang menderita penyakit jantung, bagaimana jika Li Hua bunuh diri. Dia tidak sanggup mengorbankan semua orang yang dikasihinya sekalipun itu demi kebahagiannya.
Maka berdirilah dia sekarang di sini, menatap Ie Lin yang sedang memetik harpa dalam gundah. Dentingan dawai harpa berhenti, Ie Lin mengangkat kepalanya,
“mau apa kamu kemari?” walaupun hatinya menjerit senang.
“aku perlu berbicara kepadamu dan menjelaskan beberapa hal.” San Bao tidak sanggup menatap wajah Ie Lin.
Ie Lin akhirnya mempersilahkan San Bao duduk. Hatinya berdebar-debar cemas melihat penampilan San Bao yang begitu kusut. Hatinya tidak enak, sesak dan menekan ulu hatinya.
“Ie Lin, jangan salah paham, aku sangat menyukaimu. Bahkan aku sangat mencintaimu. Tapi aku tidak bisa bersamamu, karena aku sudah bertunangan, dijodohkan dari kecil oleh orang tuaku.” San Bao mulai bercerita sambil terus menunduk. Ie Lin hampir pingsan mendengarnya.
“Mulai sekarang, sebaiknya aku tidak datang menemuimu lagi. Engkau bisa melanjutkan hidup dan masa depanmu yang pasti akan jauh lebih baik jika tidak bersamaku.” Ie Lin menangis tidak kuasa menahan perasaannya. Dia tidak sanggup berkata sepatah katapun. Udara seolah-olah berputar, dia merasa sangat pusing.
“Selamat tinggal Ie Lin, aku selalu mendoakan kamu bahagia.” San Bao berdiri, melangkah keluar dari ruangan tanpa menoleh lagi. Dia tahu dia baru saja mematahan hati Ie Lin, seperti dia baru saja menghancurkan hatinya sendiri.
“Badanmu panas sekali nak…” Ibu Ie Lin cemas, “kamu sakit apa Ah Lin, mengapa badanmu demam tinggi begini?” sepulang dari tempat pertunjukan, Ie Lin langsung mengurung dirinya di kamar dan tidak keluar-keluar lagi hingga ibunya mencarinya sore hari.
“Ibu akan memanggil tabib, nak.”
“Aku tidak apa-apa ibu, besok aku akan baik-baik saja. Mungkin aku kecapekan.”
Tapi keesokan harinya Ie Lin bahkan tidak bisa bangun. Demamnya semakin tinggi, dan menggigau. Di mimpinya dia menyebut-nyebut “Ah Bao..Ah Bao..”
Ayah dan Ibunya bingung siapa nama yang disebut-sebut anak gadisnya.
“kamu tahu siapa Ah Bao? “ Tanya ayah Ie Lin.
“Tidak. Kamu juga tidak tahu? Mungkin anak-anak rombongan pertunjukan tahu.”
“Coba Tanya mereka.”
Ibunya kembali tak lama kemudian dengan lesu.
“Kata Ah Cin, Ah Bao itu nama anak laki-laki teman bermain Ie Lin, dan sepertinya mereka mempunyai hubungan khusus”
“Oh… siapa anak itu. Siapa orang tuanya.”
“Beberapa anak rombongan pernah bermain ke rumahnya. Dia anak peladang miskin yang tinggal di tepi desa. Apakah kita cari dan bawah kemari.”
“Tidak usah!” ayah Ie Lin menjawab ketus. “Ah Lin segera akan melewati masa-masa sulitnya.”
Namun racauan Ie Lin menjadi-jadi, nama yang disebutkan juga bertambah,”Yee Lan…. Yu Nan…..”
Orang tuanya bertambah pusing, siapa pula Yee Land an Yu Nan? Namun kali ini anak rombongan pertunjukan tidak ada yang mengetahui.
Beberapa tabib yang diundang tidak dapat menemukan Ie Lin sakit apa. Akhirnya dianggap Ie Lin tidak sadarkan diri karena demam panasnya terlalu tinggi. Namun penyebabnya apa, mereka juga tidak mengetahui. Akhirnya tabib-tabib itu hanya memberikan ramuan obat penurun panas.

Sakit yang bersumber pikiran dan hati memang tidak tepat diatasi oleh obat untuk fisik. Badannya pun semakin lemah. Tak seorangpun tahu apa sesungguhanya yang dialami Ie Lin, selama demam tinggi itupun, jiwanya pergi ke atas bukit. Di sana dia menangis pilu. Rencana nirwana memang tidak mudah dipahami. Mengapa di kehidupan inipun mereka tidak dapat berjodoh. Belum cukupkah penantian ribuan tahun, kapan rantai ini dapat diputuskan. Yee Lan, jiwa yang sama dengan Ie Lin memutuskan untuk tidak kembali. Jika memang mereka tidak dapat bersatu di kehidupan ini, dia tidak ingin melanjutkan kehidupan yang sama di dunia, apalagi ini Yu Nan dalam wujud San Bao yang menolaknya sendiri. Jika dia menceritakan yang sesungguhnya kepada San Bao, akankah dapat merubah semuanya? Ataukah dia kembali menempatkan jiwa Yu Nan dalam posisi yang lebih sulit lagi. Ya, dia telah memutuskan untuk tidak kembali, menunggu di tempat perencanaan, menunggu Yu Nan agar dapat bersama-sama dilahirkan kembali.

“Ie Lin.. Ie Lin… sadarlah kau nak…” Ibunya menangis memanggil-manggil nama anaknya sambil duduk di tepi dipan pembaringan Ie Lin.
“Maafkan aku ibu…” anaknya menjawab lirih dari atas bukit.
Namun Yee Lan pun tahu, jika dia tidak bisa menerima takdir ini di kehidupan ini, jiwanya tidak akan berpulang dengan tenang ke tempat penantian. Dia pun mengiklaskan bahwa di kehidupan ini belum saatnya berjodoh kembali dengan Yu Nan dan dia sepenuhnya menerima takdir ini. Seketika itu juga jiwanya tenang dan tersenyum.
Kepala dan tangan Ie Lin pun terkulai dan menghembuskan nafas terakhirnya. Jiwanya melihat ibunya menangis meraung-raung dan ayahnya berlari masuk kamar dan langsung memeluk jasadnya yang terbujur kaku. Ie Lin melihat semuanya dengan perasaan damai.

Hari pemakamam Ie Lin, ramai dihadiri oleh keluarga, anggota rombongan pertunjukan, tetangga dan penggemar-penggemarnya. Semua orang menyayangkan kematiannya yang masih begitu muda. Apalagi tersiar desas desus jika Ie Lin meninggal karena patah hati. San Bao menyeruak di antara kerumunan orang, mencoba berbaur di keramaian dan berusaha tidak menarik perhatian. Dia tidak ingin bertemu dengan anggota rombongan pertunjukan yang mengenalnya, apalagi orang tua Ie Lin jika sampai mengetahuinya. Dia merasa bersalah, sangat bersalah. Hatinya penuh penyesalan, menyalahkan dirinya sendiri.
“Ie Lin, bawalah cintaku pergi bersamamu..” San Bao cepat-cepat menghapus air mata yang jatuh dengan lengan bajunya.
“San Bao…” tak salah dengarkah? Dia mendengar suara merdu Ie Lin memanggil namanya.
San Bao menoleh, takjub melihat Ie Lin berdiri tak jauh di belakangnya sambil tersenyum.
“Ah Bao, aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal. Ijinkan aku tetap tinggal di hati dan lukisanmu. Kelak engkau akan mengerti, bagaimana engkau bisa melukisku jauh sebelum kita pernah bertemu.” San Bao mulai menangis.
“Ikutilah panggilan takdirmu. Jalani semua pilihan peranmu. Selamat tinggal San Bao, atau boleh aku memanggilmu Yu Nan, sampai jumpa dikehidupan mendatang.” Ie Lin pun berlalu sambil tersenyum.
“Yu Nan, siapa itu?” rasanya San Bao pernah mendengar nama itu. “di mana ya? Oh ya, dimimpiku.. kalau tidak salah, bukankah bidadari itu memanggil serigala hitam besarnya dengan nama itu… ah… entahlah… aku tidak mengerti.”
San Bao melangkah pulang ke rumahnya, yang tenang di tepi desa. Langkahnya kini lebih ringan dari pada sebelumnya. Setidaknya dia tahu Ie Lan pergi dalam senyum. Dia pun pulang untuk meneruskan pilihan takdirnya di kehidupan ini, tanpa dia sendiri mengerti.

The End

“You are what you choose TO BE”
21 Aug 2011 
by Fiona Wang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar