ORACLE CARDS - LEARN AND ORDER

ORACLE CARDS - LEARN AND ORDER
ORACLE CARDS - LEARN AND ORDER; Find out how this Self Help tool works out.

Kamis, 15 November 2012

Sayap yang Terbelah



Celia menggerutu karena punggung tengah kanan atasnya sakit lagi, rasanya pegal dan ngilu. Teringat ia akan satu teknik self healing yang bisa membantu. Ok, aku musti jadikan itu obyek pengamatan, kuamati saja dan biarkan sakitnya lewat dan hilang.

Ia pun segera duduk ambil posisi meditasi dan mulai observe sakit di punggungnya. Eh… tiba-tiba saja malah merasakan dirinya terbang…. Dan mendarat dari puncak gunung berawan dalam rupa seorang wanita cantik. Kostumnya seperti kostum dewi di film Sun Go Kong. Jiahhhh kok malah kemari sih, ya udah deh, ikutin saja. Tak lama kemudian dia melihat wanita tersebut terbang, rupanya wanita tersebut adalah satu dari bidadari yang mengabdi melayani di istana sang Maha Dewa.

Tak lama kemudian dia diringkus oleh sekelompok prajurit dan dibawa terbang ke hadapan pengadilan langit. Apa yang terjadi? Rupanya Bidadari tesebut telah mencuri kendi ajaib istana. Bukan sembarang kendi, siapapun yang minum dari kendi tersebut dapat menghilang dan tidak kelihatan (jadi invisible maksudnya). Si Bidadari rupanya keras kepala juga, dia tetap bersikekeh tidak mencuri, orang hanya pinjam, habis dipake dibalikin lagi. Itu kan pinjem namanya hehehe

Buat apa ya ia mencuri kendi ajaib itu, emang mau menghilang kemana? Rupanya Bidadari ini merasa perlu sering menyelinap masuk ke satu lembah tempat para prajurit istana berlatih. Dan dari sana dia diam-diam memandangi pujaan hatinya, seorang dewa pemimpin prajurit langit penunggang garuda. Dia benar-benar jatuh cinta dengan dewa itu. Masalahnya semua bidadari yang menjadi dayang istana harus hidup selibat, menjaga kesuciannya dan tidak boleh menikah.

Apakah dewa itu juga suka dengannya? Bidadari itupun bercerita, memandangku secara langsung saja pun dia tidak berani namun kutahu dia suka mencuri pandang padaku ketika pesta taman di istana. Suatu hari aku kelamaan berada di lembah, khasiat minuman dari kendi ajaib pun hilang dan aku menunjukan rupaku. Sang ksatria menghampiriku, hai dewi, tidak seharusnya engkau berada di sini, apa yang kamu lakukan di sini, dan dia pun menghantarku terbang kembali.

Kami berjanji bertemu di tepi samudra langit. Memadu kasih dan memandang hamparan awan dalam terang malam. Melewati malam berdua dengannya yang tak mungkin terlupakan. Seekor burung istana rupanya melihat dan mengawasi. Ia terbang pulang dan mengadu pada sang Putri, yang melaporkannya pada baginda. Beliau sangat murka. Akupun diseret ke pengadilan langit dan dihukum. Aku diikat di atas air terjun dengan tali tidak kelihatan yang tergantung dari langit. Rasanya sakit sekali, namun tak sesakit hatiku melihat pandangan mata tak berdaya dari kekasihku yang memandangku dari bawah. Siapapun yang menolongku, upahnya adalah maut.

Namun suatu hari ia tidak tahan lagi melihat penderitaanku. Dia pun terbang menyelamatkan dan melarikanku dengan garudanya. Baginda segera mengirim laskar langit mengejar. Kami bersembunyi di lembah bumi yang sulit dijangkau. Di sana kami hidup bahagia walaupun hati tidak bisa tenang. Laskar langit tidak berhenti mencari, sewaktu-waktu mereka bisa muncul dan menangkap kami kembali. Sang dewa telah mengambilku sebagai istrinya, dan tak lama kemudian aku mengandung anaknya. Hari yang menakutkan pun tiba, kami disergap dari segala penjuru oleh para prajurit langit. Beberapa dari mereka menangkap suamiku dan dibawa pergi ke kahyangan untuk diadili. Aku memohon-memohon agar dia tidak pergi, namun mereka sudah menghilang begitu saja. Kepala prajurit yang memimpin penangkapan itu adalah teman suamiku. Ia melihatku sedang mengandung dan jatuh kasihan padaku. Dia tahu tidak ada ampun bagiku jika kembali ke sana dan aku pasti dipisahkan dari anakku.  Akhirnya dia menarik pedangnya dan memotong sayap kananku yang tidak kelihatan. Sayap bidadari yang walaupun tidak kelihatan, sayap inilah yang membuat kami bisa terbang dan melintas langit dan bumi. Dengan terbelahnya sayap kananku, aku tidak akan pernah bisa terbang lagi dan kembali ke kahyangan. Dan aku harus hidup di bumi bersama anakku. Sakit di pangkal sayap kananku begitu sakit, ngilu dan menusuk.

Wow, Celia begitu terperangah, seru sekali perjalanannya. Namun pasti ada alasannya mengapa dia melihat semua ini, apa yang sedang disampaikan unconsciousnya? Iapun memaafkan semua yang sudah terjadi, memaafkan semua orang yang ada, para prajurit, baginda, dan memaafkan dirinya sendiri. Ia merenungkan semua kesalahannya walaupun si bidadari kekeh dia tidak menyesal sedikitpun atas apa yang terjadi, itu adalah pilihannya. Celia berpikir, apa persamaan antara cerita unconsciousnya tersebut dengan permasalahan yang sedang di hadapi? Hanya ia yang tahu benang merahnya. Namun yang jelas, sakit punggungnya mereda, entah karena dia sudah memaafkan dan menerima ataukah karena praktek meditasinya? Entahlah… hanya ia yang tau, dan ia merasa tidak perlu menganalisanya. Buat apa? Tokh sakit punggungnya sembuh. 

15 Nov 2012
by Fiona Wang


Kamis, 21 Juni 2012

Kecerdasan Anak


Liburan kenaikan kelas telah tiba, selamat kepada Bapak-Ibu yang berkat doa dan dukungannya telah membantu menghantarkan anaknya sukses naik kelas.
Sore ini saya mengupdate status FB terinspirasi oleh status BB, FB (kebetulan saya sedang tugas luar kantor, sedang di jalan jadi bisa baca-baca BB hehehe)  dan juga kilasan-kilasan curhat beberapa ortu saat mampir ke sekolah anak tadi pagi.

“saat pengambilan rapor seperti sekarang, sering kali ada orangtua yang merenungi nilai akademis anaknya, kok cuma segini, kok cuma segitu. mom, dad, jangan lupa bahwa nilai akademis tidak sepenuhnya mencerminkan intelegensia anak Anda. Menurut Gardner, terdapat 8 kategori kecerdasan yaitu: cerdas bahasa, cerdas logika, cerdas visual-spasial, cerdas musik, cerdas diri, cerdas gerak, cerdas alam, dan cerdas sosial. Orangtua yang smart membantu mengasah kecerdasan yang menonjol dari anak agar bersinar. saya rasa memang lebih bijak dari pada memaksa matematika harus dapat 100, science 100, bahasa 100 dll. sekali-kali perlu ditinjau juga, bagaimana kecintaan anak saya pada lingkungan, bagaimana mereka perhatian dan menyapa teman, opa-oma, bagaimana mereka menyelesaikan masalah dengan teman misalnya.. semoga semua anak berbahagia...” FB posted 21062011

Biasanya jika rapor seorang anak jelek, terutama yang masih SD ya,  yang lebih stress adalah orang tuanya hehehe anaknya mah tenang-tenang aja, stressnya nanti setelah diomelin orang tuanya. Dari mengamati teman-teman saya melihat bahwa sebagian masih sangat focus ke prestasi akademik anaknya. Sah-sah saja sih, namun jika sudah membuat anak stress karena tuntutan yang terlalu tinggi, ya menjadi tidak sehat.
Saya ingin sharing sedikit pengalaman pribadi berikut, semoga bisa menjadi insight buat para orangtua yang pasti sangat mengasihi anak-anaknya.
Kejadiannya mungkin sudah 2 tahun lalu, tapi saya masih ingat karena belajar sesuatu. Suatu hari, saya berangkat kantor naik shuttle bus dari dekat rumah. Naik bersama saya seorang ibu bersama seorang anak remaja putri yang rumahnya juga di dekat kompleks rumah saya., sayapun menyapa mereka, dan ngajak ngobrol. Si Ibu sangat bersemangat sementara si anak kelihatan sangat tidak bersemangat, dan sangat pendiam sekali.

Singkat cerita, Si ibu cerita kalau anak remaja putri yang bersamanya kuliah di sebuah universitas ternama, dan membanggakan bahwa anak ini sudah 2 tahun berturut-turut mendapat beasiswa karena sangat berprestasi dengan nilai IPK yang sangat tinggi. Sang Ibu bahkan hafal hingga ke angkanya. Sementara sang ibu bercerita dengan semangat  berapi-api, si anak hanya diam merunduk dan melihat ke lantai bus dengan wajah dingin dan datar. Naluri terapis terusik nih, saya merasa ada yang kurang beres.
Setelah menyatakan apresiasi saya pada si anak berkaitan dengan prestasi akademis yang diceritakan ibunya, saya mulai mengajaknya bicara, “ambil jurusan apa?” Sebelum si anak sempat menjawab (tapi memang sepertinya dia juga tidak berniat menjawab, karena ekspresinya tetap datar), ibunya sudah menyambar dan menjawab.

Saya mencoba lagi menanyakan sesuatu yang lain, lagi-lagi ibunya yang menjawab. Saya sengaja memalingkan wajah saya menatap mata anak ini untuk menunjukkan bahwa saya bertanya ke anaknya ini dan bukan ke sang ibu, dengan pertanyaan yang lebih personal, suka baca buku apa saja, ya ampun, tetap juga ibunya yang menjawab! Sejak kapan sang ibu mulai menjadi juru bicara anaknya ini.

Saat itu saya mencoba berpikiran positif, mungkin anak ini sedang ada problem, mungkin habis dimarahin atau berantem sehingga begitu bête. Namun beberapa minggu kemudian ketika saya mendapat kesempatan naik shuttle bus, berulang lagi kejadian serupa. Suatu hari saya bertemu dengan ibunya sendiri dan saya bertanya, “anak ibu kelihatannya pendiam ya.”  Dan sang ibu membenarkan bahwa memang begitulah karakter anaknya, selalu seperti itu dan hanya tahu belajar saja.

Seorang ibu yang terlalu dominan dan superior secara tidak langsung dapat menenggelamkan karakter si anak. Selain itu Kecerdasan Sosial dari anak perlu diasah dan menurut saya jauh lebih penting dari pada nilai ujian mata pelajaran/ kuliah Sosial dapat nilai 100. Praktek itu lebih penting dari pada teori, walaupun tidak berarti terori itu tidak penting. Jika anak hapal ayat-ayat kitab suci memang sangat bagus, namun bukankah lebih bagus lagi jika mereka selalu mengucap syukur dan ingat Tuhan di setiap perkara.  Multi Intelligence itu penting dipahami oleh orangtua. Not only IQ, tapi juga EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient) dan Q Q yang lain. Saya yakin semua orangtua memiliki spirit yang sama, agar anaknya selalu sehat dan bahagia lahir batin. Mari kita sama-sama memekarkan senyum anak-anak di dunia, dimulai dari anak kita.

Salam bahagia,
Fiona Wang
Cherie & Cory’s Mom
Bagi Orangtua yang ingin menguasai teknik Emotional Freedom Therapy (EFT) for Children dapat menghubungi saya di Fiona.wang889@gmail.com



Sabtu, 02 Juni 2012

The Legend of Yee Lan - Part III


 “Aku pernah lihat dia di mana ya?” pikir Carrie Wilson, sambil memasuki Lift apartemennya. Keningnya berkerut, “sepertinya pernah ketemu.” Dasar orang cantik, mengerutkan dahi pun tetap saja cantik. 2 pria yang satu lift dengan Carrie, mencuri-curi pandang lewat ujung matanya. Aroma parfume nya menebar lembut memenuhi ruang lift. Tiinnngggg, lantai 10, Carrie bergegas keluar, jalannya berlenggok anggun menuju pintu apartemennya. Busana jaket kulit hitam dan rok mini hitam ketat serta boot kulit hitam yg menutup hingga setengah betisnya yang indah semakin menambah daya pesonanya.

Hmmmppphhh….. capenya… ketika pekerjaan menumpuk, lelahnya tidak terasa, begitu sampai di kamar apartemennya, tubuhnya tahu saja sudah saatnya beristirahat, semua kelelahan langsung muncul. Pekerjaannya sebagai model dan penyanyi Rock memang  menyenangkan, Carrie menikmati setiap detik dari pekerjaannya, walaupun menyedot banyak energy, tidak terasa, tahu-tahu, waktu sudah melompat dari pagi ke siang, ke sore, tahu-tahu sudah malam dan dia harus memacu Ferrari nya pulang. Sudah cukup lama berlalu semenjak Carrie sudah tidak lagi menikmati dunia malam. Berbeda dengan dulu, ketika dia masih bergaul akrab dengan segala gemerlap dunia malam, sekarang dia lebih sering menolak kalau diajak hang out teman-temannya. Kekasihnya yang terakhirnya juga baru ia campakkan 3 bulan lalu, dan dia belum berniat mencari penggantinya. Carrie masih menikmati kesendiriannya.

Selain di kontrak sebagai model beberapa produk busana dan komestik, dan berprofesi sebagai penyanyi rock yang cukup terkenal memberinya penghasilan yang lebih dari cukup. Apartemen dan mobil mewah, hadiah-hadiah dari penggemar. Ditambahkan dengan kecantikannya, Carrie bisa mendapatkan apa saja yang diinginkannya. Apa sajakah? namun mengapa dia selalu merasa ada yang kurang ya. Seperti ada ruang kosong di hatinya yang hampa dan tidak terpuaskan oleh semua itu.

Dan sekarang ini, ada sebuah pertemuan yang menggelitik perhatiannya. Mungkin semua orang pernah mengalami ketika perama kali melihat atau bertemu dengan seseorang, tetapi rasanya sudah pernah bertemu sebelumnya sebelumnya entah di mana. Rasanya familiar sekali, dan tidak bisa dihapus-hapus dari ingatan seperti yang barusan terjadi pada Carrie. Carrie sudah berusaha untuk tidak peduli dan tidak memikirkan sama sekali tetapi bayangan pria itu seperti nyangkut di pikirannya, menari-nari, lewat lagi dan lewat lagi. Sensasi perasaannya juga tidak menentu, ada perasaan galau, penasaran, nyaman sekaligus juga tidak nyaman, apa coba?

Carrie sebenarnya malas sekali datang ke pesta ini. Dia lagi ’anti sosial’. Vanessa, sohibnya ketawa ngakak, apa jadinya kalau seorang sosialita jadi anti sosial hahahaha....
”Tapi asli aku males sekali Vanessa, i don’t know where’s the spirit gone..” Kata Carrie lesu.
“Hah? spirit apa?” Vanessa memandangnya bingung.
“Entahlah…. the cheerfulness ? gimana jelasinnya ya… like Christmas without the spirit of Christmas.. apa jadinya coba? “ Carrie duduk di balkon villa Vanessa sambil menarik-narik daun palem yang berjuntai di sebelahnya. Vanessa memang memiliki Villa mewah di tepian Wellington, hadiah dari tunangannya yang memiliki jaringan real estate ternama di New Zealand dan Australia.
“Hmm.. sepertinya serius nih. Apa  ini gara-gara kamu putus sama Steven?” terka Vanessa.
“Whattt?? nothing to do with him , ok? Ga ada hubungan dengan dia sama sekali, bahkan aku musti sempat mikir, Who’s Steven waktu kamu sebut namanya hehe… aku cuma merasa begitu…begitu kosong…”
“Lalu apa donk…. live your life fully young lady. Orang lain bisa bunuh-bunuhan untuk menjadi seperti kamu. Ok, kamu rilekskan pikiranmu, jalan-jalan saja di pantai. aku mau masuk dulu mengecek persiapan pestanya nanti malam. Dan berhenti membunuh palemku, ok?!  Satu jam kamu di situ bisa botak dia hahaha.”
“Hahaha oke deh”, Carrie pun turun ke pantai dan mulai berjalan menyusuri pantai. dia mengenakan tank top hijau, celana pendek putih dan topi putih berpita panjang yang berkibar di tiup angin ke belakang. Kaca mata hitam yang sangat pas dengan face nya bertengger di hidungnya yang indah. Dirinya seperti ujung kuas yang menyapu kanvas pantai, memberi warna. Pantai pribadi ini termasuk sepi, hanya beberapa villa yang berpenghuni sekalipun akhir pekan begini.

Tanpa Carrie sadari, ada sepasang mata yang mengawasinya dari jauh. Pandangan mengandung tatapan kagum, rindu, dan pilu walaupun sang pemilik mata tidak dapat menjabarkan perasaan apa yang berkecambuk di hatinya ketika melihat kembali wanita itu. Chris Morris, Pialang saham muda yang sukses, sedang duduk santai di beranda Villanya yang tidak jauh dari Villa Vanessa. Konon Chris adalah juga pemilik Luna Bar & Resto yang tersebar di beberapa kota di New Zealand.
“De Javu?”  Keterlaluan kalau setiap hari De Javu. Tadi malam waktu melihat penyanyi Rock yang sedang manggung, dia juga sempat berpikir dejavu, eh, sekarang orangnya lewat lagi. Chris berumur 35 tahun dan sudah dua kali berkeluarga, semuanya kandas berakhir berantakan. Setelah bulan madu berakhir, yang ada hanya kekecewaan dan kepahitan, tidak seperti yang dia harapkan. Akibatnya baru seumur jagung kedua perkawinannya sudah berakhir di perceraian, untunglah, belum ada anak dari kedua perkawinannya. Dia merasa lebih bebas begini, seperti bujangan lagi buat apa terikat.

Pesta belum lama juga mulai, Carrie memutuskan untuk pulang aja. Dia menarik tas hitamnya dan mencari Vanessa. Sebenarnya dia sudah mau pulang dari 1 jam yang lalu tapi karena Vanessa berpesan padanya untuk nginap di villanya, dia masih mempertimbangan. Akhirnya dia nekad pulang saja, habis tidak enjoy sama sekali. Semua orang ber haha hihi tertawa, basa basi yang membosankan dan garing. Ah sudahlah, nanti dia akan kirim text saja ke Vanessa, si nona sedang sibuk menjadi host yang baik entah di belahan kamar yang mana. Carrie menuju ke tempat dia memarkir red ferrarinya, mengendarainya perlahan menuju ke jalan utama.

 Pas saat itu ada sebuah Lamborghini Murcielago seri terbaru yang datang dari arah yang berlawanan. Kilasan pelan, dan waktu terasa berhenti ketika Carrie bertemu pandangan mata dengan Chris Morris yang baru datang ke pesta. Terbersit secuil penyesalan di hati keduanya, Carrie menyesal karena memutuskan pulang dan Chris Morris menyesal karena terlambat memutuskan untuk bergabung di pesta kekasihnya Ken Roger, Vanessa. Seperti ada kilatan yg terbentuk dari pertemuan pandangan keduanya, dan mereka berdua seperti tersihir. Dan malam itupun keduanya sulit tidur.

Carrie sempat ingin menanyakan ke Vanessa tentang siapa pria itu. Tapi kok ada perasaan enggan. Lagian nanti Vanessa berpikir dia sudah ada incaran baru, ah malesnya. Malam ini Carrie kembali harus manggung dan menyanyikan beberapa lagu dalam sebuah acara di Luna Bar & Café, cabang baru di Wellington yang Launching malam ini. The Roses Rock merasa mendapat kehormatan diundang tampil di sana. Carrie ketika sampai sudah ditunggu oleh crew nya dari the Roses Rock. The Roses Rock adalah grup music rock yang terdiri dari para wanita semua di antaranya Carrie, Vanessa, dan Amy sebagai vokalis.

Malam ini Carrie baru mengetahui jika pemilik bar ini, Mr. Morris adalah pria yang bertemu pandang dengannya tadi malam di halaman villa Vanessa. Dia juga yang duduk di pojok ruangan dan menonton shownya dua malam yang lalu ketika ia manggung. Pria yang menarik. Sudah berkeluargakah dia? Sepertinya dia harus menanyakan ke Vanessa. Persetan jika setelah ini dia akan diledek habis-habisan. Carrie terus memperhatikan Chris dari tempat dia duduk di dekat panggung. Seorang wanita yang sangat cantik muncul, langsung memeluk Chris dan mencium pipinya. Entah kenapa seperti ada api yang berpijar dari dada Carrie menyambar ke ubun-ubun. Dia merasa cemburu? Hah? Karena apa? Dia kan tidak sedang jatuh cinta dengan pria itu kan. Tapi perasaan sengit ini tidak kuasa ditolaknya, membakar begitu saja.

Yang lebih menyebalkan lagi adalah bayangan itu enga luntur-luntur, seperti mengejek Carrie, filmya terus berputar, diulang lagi diulang lagi, membuat hatinya semakin marah dan miris. ”Apa aku sudah gila ya, suami bukan, kekasih bukan bahkan kenal pun tidak, kenapa perasaanku jadi engga karuan begitu.” Carrie menggeleng-geleng sendiri berusaha mengibas gambaran itu dari kepalanya.
What happen with you, dear? kamu baik-baik saja? kamu tampak pucat.” Amy menegurnya dengan cemas.
”No, i’m Ok.” Carrie berusaha untuk tersenyum. Salah satu hal yang membuatnya masih merasa punya keluarga di Wellington adalah persahabatannya dengan Amy dan Vanesa, terutama Vanessa yang sudah seperti adiknya. Namun sekalipun mereka cukup akrab, secara tidak langsung tanpa disadari Carrie tidak pernah mengijinkan mereka terlalu dekat, tidak untuk masalah yang terlalu pribadi. Dan yang jelas dia tidak mungkin menjelaskan pada Vanessa sekalipun, apa yang dia rasakan sekarang. Batinnya yang semakin hari semakin kosong, semangat hidupnya yang semakin hari semakin redup. Bahkan ambisinya untuk tenar yang dulu begitu meluap-luap semakin hari semakin pudar sejak ulang tahunnya yang ke 27.

Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-27 saat itu, kira-kira setahun yang lalu, Carrie masuk ke sebuah galeri lukisan. Di sana ia berdiri terpaku di depan sebuah lukisan cat minyak besar. Carrie membaca label bagian bawah pigura kuning emasnya; Shilin “The Stone Forest” China.
Carrie menatap lukisan itu begitu lama.... lama sekali… ia tertegun tak bergerak, mematung. Petugas galeri yang berdiri di ujung ruangan juga melihat ke arah Carrie dan  mengagumi penjiwaannya. Mungkin Wanita ini seorang pengamat lukisan, pikirnya.

Carrie membaca cerita legenda singkat yang di tempel di bawah lukisan indah  pemandangan hutan batu menjelang senja tersebut:

Stone Forest

The Stone Forest is in the Lunan Yi Nationality Autonomous County, Yunnan Province. It covers an area of 2,670 square kilometers and is divided into several scenic areas with names like Greater Stone Forest, Lesser Stone forest, Outer Stone Forest, Underground Stone Forest, Stone Forest Lake, and Da Dieshui Fall. The Stone Forest was formed by karst two million to thirty mullion years ago. The Forest was contains peaks, pillars, stalagmites, depressions, underground rivers, and caves. The fantastic stone pinnacles rising abruptly from the ground resemble a huge, dense forest. Many of the stone pinnacles are associated with legends. In the Lesser Stone Forest. There is one pinnacle that resembles a slim and beautiful girl. Seen in silhouette with another stone formation, the girl appears to be carrying a basket on her back. This is the famous Ashma, heroine of an epic poem popular among the Sani people. According to the legend, Ashma, a Sani girl, refusing to be married to the landlord Rebubala, fought against the landlord and his men with her true love Ahei. They finally ran away from the landlord and came to the Stone Forest. But ganging up with the stone demon, Rebubala summoned up a flood and drowned Ashma, who then turned into the stone peak.
The origin of the Stone Forest is also the subject of an old legend. Long, long ago, in an attempt to flood the farmland of Lunan, the evil monster Asabe used his magic whip to drive a group of stone pinnacles to a place where they would obstruct the current of the Nanpan River. A hero of the Sani people, on hearing the news, rushed to the spot and fought the monster. Asabe was finally defeated and had to flee, leaving behind him the pinnacles that still bore the scars of his whip. These became the Stone Forest.
Every year, around the 24th and 25th day of the sixth lunar month, the Sani people gather in the Stone Forest to celebrate the “Torch Festival.” Visitors are welcome to enjoy the folk dances and the wrestling competitions of the Sani youngsters.
Bus trips take visitors to the Stone Forest from Kunming. On the way there is a cave which contains a chamber with stone beds and stone benches on which people can rest. Lying on a stone bed, one can see a strip of sky through a fine crack in the roof of the cave. Tourists can either return to Kunming on the same day or stay overnight at the Stone Forest Hotel. Hotels, shops, and restaurants have been built to meet the needs of the developing tourist industry in the area. (http://www.china.org.cn/english/travel/42329.htm)

“Lukisan yang indah bukan, nona?”  Carrie hampir melompat kaget disapa oleh petugas galeri yang mengenakan pin nama ”Marie Ann”.
”Ya betul sekali hanya sepertinya akan lebih bagus kalau digambar waktu malam hari di bulan purnama  dan ada seekor serigala hitam besar yang berdiri dipuncak  baru dan melolong sambil memandang ke bulan.” Carrie nyerocos cepat sambil memperagakan dengan tangannya kepada petugas tersebut yang dibalas dengan sorot padangan mata aneh Marie Ann. Namun Marie Ann yang profesional hanya sempat sekian detik bingung, segera menguasai dirinya, dan kemudian dengan elegan menjawab ceria,
”Pasti akan menarik sekali, Ma’am, Anda memiliki sense of art yang sangat tinggi.”
”Terima kasih” Carrie memaksakan diri tersenyum, ”permisi.” Carrie buru-buru keluar dari rumah galeri tersebut. ”mengapa aku mengeluarkan komentar aneh begitu, ck!” Namun keesokan harinya, Carrie kembali lagi ke rumah galeri tersebut dan membeli lukisan itu. Harganya menurut Carrie sebenarnya tidak masuk akal untuk sebuah lukisan, dia harus merogoh saku sebanyak itu, tapi dia memutuskan untuk tidak peduli, langsung membeli dan membawanya pulang.  Lukisan itu dia pajang di kamar tidur, menghadap ke ranjangnya supaya dapat dipandanginya setiap hari sambil berbaring. Entah mengapa, pemandangan di lukisan itu seperti menimbulkan getaran magis dari dalam dirinya, ada perasaan yg mengiris, sekaligus bahagia, haru biru bercampur aduk menjadi satu, dan Carrie sangat menikmati lukisan itu.

Akhirnya acara launching cafe pun selesai, ditutup oleh satu buah lagu yang mengguncang dari ”The Roses Rock”. ketiga penyanyi membungkukkan diri di hadapan penonton. Sekonyong-konyong, Sean Rogers, Manager Luna bar & cafe naik ke panggung, memberikan selusin mawar kepada Carrie dan memeluknya sambil berbisik,
” Saya penggemar beratmu. Penampilanmu selalu luar biasa.” Carrie mengucapkan terima kasih sambil tersenyum manis. Chris Morris yang melihatnya justru mengerutkan kening tidak senang, apa-apaan Sean, mengapa harus kasih bunga segala ke Carrie, pakai pelukan dan berbisik-bisik segala, Apakah mereka sudah saling mengenal sebelumnya, ada hubungan khususkah? Chris sampai heran, getaran perasaan yang menghantam dadanya sungguh tidak menyenangkan. Chris sampai merasakan dada kanan bawahnya sakit. Chris sebenarnya sudah diam-diam mencari tahu tentang siapa wanita yang menurut dia sangat misterius itu. Chris mendapat info kalau Carrie masih sendiri, dan tinggal di lantai 10 sebuah apartemen mewah di sudut jalan Hunter Street dan Lambton Quay.

Bangun siang keesokan harinya, kondisi Carrie tidak karuan. Kepalanya sakit luar biasa serasa ditusuk seribu jarum. Semalam, pulang dari acara launching cafe dan tiba di kamar apartemennya sudah tengah malam, namun dia baru bisa tidur jam 4 subuh. mungkin karena berusaha tidur sambil memandang lukisan hutan batu itu, dia bermimpi berjalan-jalan di diantara hutan batu itu. Purnama terang dan indah sekali, namu hatinya begitu gelisah, tidak bisa menikmati semua keindahan itu karena dia sedang sibuk mencari seseorang. ”Yu nan ... Yu nan...” Carrie memanggil –manggil mencari seseorang, namun yang dicari tidak kelihatan. Perasaan takut kehilangan yang dirasakan sangat mencekam, Carrie terus mencari-cari sambil menangis.... dia merasa tersesat, seorang diri, ada kesia-siaan, dan kesepian. Akhirnya dia tersungkur tidak kuat lagi berjalan... namun dia terus berusaha bangkit dan meneruskan mencari, menyisir gunung batu. Entah berapa lama dia bermimpi seperti itu, akhirnya dia terbangun dengan sekujur badan sakit, kepala berat dan pusing. Mimpi yang aneh, siapa pula Yu Nan yang dia panggil-panggil. oh I see, apa karena lukisan Stone Forest ini letaknya di provinsi Yunnan China ya? hmmm bisa saja, informasi yang kubaca di galeri waktu itu.

Untunglah hari ini mereka libur. Carrie mengangkat telepon menghubungi Vanessa.
“Sorry dear, aku tidak bisa  main ke villa. Kepalaku sakit sekali.”
“Kamu kenapa? sakit? kebanyakan minumkah? Are you ok?” suara Vanessa terdengar cemas.
“Entahlah... kurasa tidak apa-apa hanya pusing saja.”
”Perlu aku ke sana?” Vanessa menawarkan diri, siapa tahu Carrie memerlukannya karena dia sendirian di kota ini. Kedua orangtua Carrie menetap di Napier, kota kecil yang indah dan tenang.
”No, thanks, aku akan baik-baik saja.”
“Apa sebenarnya yang mengganggumu, dear? you know that you can tell me anything.” Vanessa benar-benar prihatin. “Kamu yakin ini tidak ada hubungannya dengan steven?”
”No Vanessa! untuk kesekian kalinya, ini tidak ada hubungan dengan Steven, ok?!” satu-satunya hal membuat Carrie sangat sebal dari Vanessa adalah dia begitu suka berasumsi. Carrie paling tidak suka, orang yang suka menebak dan menyimpulkan masalah orang lain, sok tahu menurut dia. Hal itu juga yang buat dia malas cerita. ”Aku hanya merasa belakangan ini agak bingung, tidak jelas apa yang kumau, berasa hampa sekali. Apa menurutmu aku harus ke psikolog? Perlukah?” Carrie sendiri ragu dengan idenya sendiri.
”Kamu kedengarannya depresi, pergilah ke psikolog, hypnotherapist, whatever, sembuhkan dirimu. Kami rindu Carrie yang ceria kembali.”
”Ok.” tapi dalam hati Carrie masih ragu. Ah, mungkin aku hanya kurang istirahat.

Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi. tapi mata Carrie masih terbuka lebar. Mata yang merah dan tegang tapi tidak bisa tidur. sudah bolak-balik. Entah sudah berapa episode film bermain dikepalanya tapi selalu ada kepingan slide Chris Morris. Chris sedang duduk di bawah kursi penonton, ketika Carrie menyanyi di panggung, Pertemuan pandangan mereka ketika berpapasan mobil, Chris yang sibuk menyambut tamu di acara Launching cafe, wanita cantik yang menciumnya... ahhhh... Carrie bangkit dari ranjang, dan menuju ke mini bar dan mengambil sebotol Vodka, yang dibeli oleh Steven dulu. Mungkin dengan menenggak ini aku akan bisa tidur. Carrie pun langsung meminum dari botolnya. Setelah beberapa teguk, dia merasakan badannya menghangat, tengorokannya sedikit terbakar. Sambil terbatuk-batuk, dia membawa botol itu kekamarnya.

Ah, Panas sekali, Carrie merasa gerah, dan membuka pintu kamarnya. Wah sudah berapa lama ia tidak berdiri di balkon apartemennya dan memandang ke bawah. Dari lantai 10 ini ia bisa memandang keramaian di bawah. Carrie menyandarkan badannya ke pagar balkon sambil memandang jauh ke depan melihat gemerlap lampu malam. Carrie menggoyang-goyangkan kepalanya, terasa berat, bagus dia mulai mengantuk. Sisi luar balkon itu tidak langsung ke bawah tetapi ada sambungan lantai sekitar 30 cm. Entah apa yang menggerakkan Carrie, dia mulai duduk di pagar balkon, kemudian memutar badannya menghadap kedepan dengan mengangkat dan meletakan kakinya keluar pagar.
”ha hahahahha.... seru...., aku tahu bagaimana caranya mengusir semua kebosanan hidup ini, besok pagi, aku akan mendaftar bungee jumping hahaha.. Greattt!”
Dari duduk, Carrie perlahan menurunkan kakinya dan berdiri di lantai bagian luar balkon. Dia merentangkan tangannya lebar-lebar dan menarik napasnya dalam-dalam menirukan adegan di film Titanic. Carrie terbatuk-batuk, tenggorokannya masih panas karena minuman vodka tadi, napasnya kental berbau alkohol.
Tiba-tiba Carrie kehilangan keseimbangannya dan terpeleset, mengerikan sekali, detik terakhir sebelum badannya meluncur turun yang diingatnya adalah lukisan di kamarnya, Carrie seolah tersedot masuk ke dalam lukisan itu. Sekonyong-konyong sebuah arus memori menerjang masuk ke kepalanya. Dia berada di sana dan berteriak ”Yu Nan...” dan sebuah suara pria menjawab,”Yee Lan... sudah lama aku menunggumu.” Hey! Pria itu adalah Chris Morris... Waktu serasa berjalan seratus kali lebih lambat.

Chris Morris yang saat itu sedang ketiduran di sofa Luna Bar tersentak bangun,kaget dan berteriak ”Yee Lan??” Seperti bermimpi dia juga merasakan arus memory yang menerjang masuk ke pikirannya. Segera dia bangun, lari ke mobilnya dan memacunya secepat mungkin ke apartemen Carrie.

Melewati lantai ke sembilan, Carrie mendengar suara lembut Vanessa berkata, ”Yee Lan, aku dan ibu sungguh mengkhawatirkanmu.” lalu ada suara dirinya menjawab, ”Tidak perlu cemas, Kim Lan, aku akan baik-baik saja.” Lucu sekali Vanessa berpakaian seperti remaja Cina jaman dulu.

Meluncur lantai ke delapan, Carrie memeluk Yu Nan dengan sangat erat, ”Aku tidak ingin kembali, apapun yang terjadi aku akan bersamamu di sini, selamanya...”
                           
Lantai tujuh...  Ngeri Carrie melihat Chris Morris yang berubah wujud menjadi seekor serigala besar hitam yang berlari ke puncak gunung batu dan melolong panjang ke bulan.

Lantai enam...  Suara petirpun menyambar di fajar hari, Dia sedang bersujud di tanah, suara ayahandanya menggelegar, ”tapi karena kekuatan cintamu, dia akan dapat terlahir kembali menjadi manusia di kehidupan berikutnya..”
Tubuhnya sudah setengah jalan ke tanah, memori masih terus berkelebat,
Melewati lantai lima... Carrie sedang memetik harpa dan beradu pandang mesra dengan San Bao.
Melewati lantai empat... Carrie melihat bahwa wajah  Yu Nan, San Bao dan Chris Morris adalah wajah jiwa yang sama.
Melewati lantai tiga... ada kerinduan yang menyergap
Melewati lantai dua... Wajah Chris berputa-putar.....

Tepat sedetik sebelum tubuhnya menghantam jalan, dia menemukan kepingan puzzle yang hilang, jawaban dari kekosongan hatinya selama ini, Yu Nan yang selama ini dicarinya, kehadiran Chriss Morris.

Ketika mobilnya sampai ke depan apartment, Chris melihat orang berkerumun, dan terdengar suara sirene ambulance meraung-raung. Chris segera menyeruak kerumunan dan menemukan Carrie yang sedang diangkat oleh petugas medis. ”Yee Lan..” Hatinya hancur.. Chris ikut ambulance ke rumah sakit.
”Anda mengenal wanita ini?” seorang perawat bertanya kepadanya.
”Ya, dia kekasihku. Boleh saya melihatnya.” Carrie langsung dilarikan ke Unit Gawat Darurat. Sejenak, Carrie sempat membuka matanya, bertemu pandang dengan mata Chris. Chris merasakan mata itu tersenyum, namun Chris tak sanggup menahan tangisnya.  Detik berikutnya, Carrie pun menghembuskan nafas terakhirnya. Chris meraung, menangis sejadi-jadinya. Sayang sekali, takdir terlambat dibelokan.

the beauty of Stone Forest - Zhangjiajie, China


by Fiona Wang
Jiahh.... lagi2 berakhir ga hepi ending. pembaca jangan kecewa yaa... kadang hidup memang seperti itu, kadaannngggg... hehehe...
The Legend of Yee Lan IV blon ditulis nih... gimana kalo settingnya di Jakarta tahun 2012? hmm.... interesting... 

Minggu, 27 Mei 2012

The Legend of Yee Lan - Part II


Seratus tahun telah berlalu. Pagi itu Seorang pria muda berjalan di pasar. Langkahnya terhenti mendengar nyanyian dari dalam kedai teh.
“wah merdu sekali…” dia berusaha mengintip dari luar, tidak berani masuk karena tidak memiliki cukup uang.
“wah, pasti ini orangnya, penyanyi yang sering diundang ke acara-acara. Cantik sekali…pantas menjadi buah bibir di pesta panen kemarin.”
“hey! Kamu mengintipku ya?” Gadis itu sudah berada tepat dihadapannya, dari dekat, lebih-lebih lagi cantiknya.
“betul, eh maksudku tidak tidak, bukan begitu,” San Bao gelagapan kepergok Ie Lin.
“apa maumu disini?” Ie Lin sok galak.
“anda cantik sekali nona, eh tidak, maksudku bukan, suara nona merdu sekali” aduh kenapa dia jadi gagap begini? Jantungnya berdebar, tidak tidak tidak, dia terlalu cantik untukmu.
“benar kamu suka suaraku,” Ie Lin juga heran mengapa dia menjadi senang begini. ”besok malam, aku diundang menyanyi dibalai kota. Engkau boleh datang menonton. Bilang saja kamu temanku.” Hah? Sejak kapan dia gampang akrab dengan orang asing.

Namun pria ini bukan orang asing. Ie Lin menyadari dia memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan manusia yang lain. Seperti indera ke enam. Dia bisa berbicara dengan roh, melihat apa yang tidak dilihat orang lain. Dan intuisinya bukan main. Dia juga memiliki bakat music yang luar biasa, memetik kecapi, harpa dan menyanyi. Suaranya bak emas bertahta berlian, itulah sebabnya dia menjadi penyanyi, bahkan sering diundang ke acara walikota. Yang ingin memperistrinya juga banyak, dari pejabat teri hingga pejabat tinggi, namun Ie Lin tidak sudi menjadi gundik mereka.

Malam itu Ie Lin bermimpi, aneh sekali… badannya panas tapi berkeringat dingin, dia mengalami kembali semua kejadian di atas bukit. Wajah bidadari itu, wanita itu adalah dirinya! Dan pria yang berubah menjadi serigala itu, pria yang tadi siang dia ketemu di kedai the. Ah, Ie lin terbangun kaget, napasnya ngos-ngosan, aduh dia demam tinggi sekali. Minum, mana minum, Ie Lin meraih secawan air disamping dipan tidurnya, dan direguk habis. Wah ini bukan mimpi, walaupun tidak tahu apa namanya namun Ie Lin tahu ini bukan mimpi. Dengan semua kelebihan yang dia miliki, dia tahu ini adalah sebuah penglihatan kehidupan dulu. Rupanya ini jawaban dari perasaan ketersambungan yang dia rasakan ketika bertemu pria ini nanti siang. Aku sudah bertemu dengan jodohku… Ie Lin tersenyum dan tertidur kembali.

Ie Lin sedang bersiap-siap untuk manggung, petunjukannya nanti malam dihadiri oleh Bupati. Mereka harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Kelompok menyanyi ini dikelola oleh ayahnya sendiri yang semenjak dulu mengadakan pertunjukan keliling. Sejak Ie Lin aktif berperan, kelompok ini mendapatkan bintang baru. Bintang yang kian hari kian bersinar terang. Ayah dan ibunya bangga sekali padanya. Mereka berharap suatu hari nanti Ie Lin bisa menikah dengan seorang pejabat, menjadi selir atau gundikpun tidak apa-apa. Yang penting mendapat suami yang berpengaruh dan bisa membantu keluarga mereka.

Dia datang tidak ya, hanya itu yang ada di kepala Ie Lin.
“kenapa kamu kelihatan gelisah Ie Lin, sedang menunggu seseorang” tegur ibunya yang dari tadi melihat anaknya celingak-celinguk seperti mencari seseorang di tempat duduk penonton.
“engga kok bu.” Ie Lin cepat2 masuk ke kamar rias.
“cepat, persiapkan dirimu” penonton sudah berdatangan.
Malam itu Ie Lin dengan suara emasnya memukau penonton dengan lagu yang menggambarkan rembulan. Penonton sampai ada yang meneteskan air mata menghayati nyanyiannya yang mengisahkan bagaimana rembulan mewakili hati dan cinta sepasang kekasih yang terpisah. Di tengah nyanyian, dia melihat pria yang dinantinya, San Bao yang kelihatan begitu canggung. Dia kelihatan tidak biasa berada di tempat ramai seperti itu, Ie Lin tersenyum, seorang pria desa yang lugu. Apakah dia bisa baca tulis? Ah mengapa kamu ini, Ie Lin malu dengan pemikirannya sendiri. 

Walaupun sebenarnya ragu dan malu, San Bao memaksakan dirinya datang ke balai kota. Dia tidak suka dengan keramaian, tempat kedamaian adalah rumahnya yang sederhana di tepi desa. Tapi demi menghormati gadis cantik yang mengundangnya kemarin siang dia memaksakan diri untuk datang. Gadis itu sungguh cantik, wajah rupawan yang sering muncul di mimpi-mimpinya. Sungguh tak menyangka, ada orangnya sungguhan, selama ini dia piker yang dilihat dimimpinya adalah bidadari yang mungkin pernah ia lihat lukisannya di satu tempat. San Bao malah sempat berpikir, apakah ada wanita secantik itu, paling hanya ada di khayalannya saja. San Bao pandai melukis, di gudangnya penuh gulungan lukisan wanita itu, dalam berbagai posisi. Namun dari semua, yang paling disukainya adalah lukisan wanita itu bersama seekor serigala hitam yang besar. San Bao tidak tahu mengapa dia melukis demikian, ide itu datang begitu saja, dan menghasilkan masterpiece nya yang luar biasa indah. Sayang sekali semua lukisannya tidak bisa dia pajang, semua harus disembunyikan. Apa kata ibunya nanti, lebih mudah buat San bao menyembunyikan lukisan-lukisan itu daripada menjelaskan kepada ibunya, siapa wanita di lukisan-lukisan itu.

 Hatinya sempat bergumul, pergi – tidak, pergi tidak… segenap jiwanya ingin pergi tapi ada secuil perasaan bersalah kepada Li Hua. Ah.. Li Hua, maafkan aku, aku hanya datang untuk mengucapkan terima kasih atas undangannya dan segera pulang. Li Hua adalah tunangannya. Dijodohkan oleh orang tua mereka sejak kecil. Keluarga mereka sangat deka dan akrab. Konon ayah San Bao pernah diselamatkan nyawanya oleh ayahnya Li Hua ketika hamper hanyut terbawa arus sungai. Sejak saat itu mereka berikrar menjadi saudara, dan kedua anak tunggal masing-masing keluarga dikatkan dalam perjodohan. Sebenarnya San Bao lebih menganggap Li Hua seperti adik kandungnya. Mereka tumbuh bersama, bermain bersama, dan saling menyayangi seperti kakak adik. Rumah mereka memang berdekatan di tepi desa disamping sungai.

Ie Lin tersenyum manis kepadanya, dan San Bao membalas dengan menganggukan kepala. Setelah selesai nyanyiannya dan digantikan oleh pertunjukan permainan kecapi oleh adik sepupunya, Ie Lin member tanda kepada San Bao untuk menemuinya di belakang panggung.
“senang engkau kemari, San Bao. ” Ie Lin merasa senang sekali. Lebih senang melihat San Bao yang datang dibanding dengan petunjukkannya dihadiri menteri sekalipun.
“Terima kasih nona sudah mengundangku. Ini adalah pertama kalinya saya menonton pertunjukan.” San Bao sulit menahan getaran di jantungnya, dia tidak pernah merasakan seperti ini kepada siapapun, termasuk kepada Li Hua. Apakah dia sedang jatuh cinta, Oh Tuhan, jangan sampai!
“apakah kamu pernah menghadiri undangan makan ulang tahun sebelumnya? Besok aku berulang tahun, dan orang-orang kelompok pertunjukan membuat perayaan kecil-kecilan untukku. Apakah kamu bersedia hadir besok?.” Setengah mati menahan malu, dengan muka merah, akhirnya berhasil juga Ie Lin mengungkapan ajakannya. Mau tidak mau karena kelihatannya pria ini amat sangat pemalu. Kalau dia malu-malu juga, kesempatan pasti akan berlalu begitu saja. Lalu kapan dia akan bertemu lagi dengan pria di mimpinya ini? Ie Lin bertekad untuk mengenalnya lebih jauh.

“sungguh, kamu besok berulang tahun? Kebetulan sekali karena besok juga ulang tahunku yang ke-17.” San Bao takjub, bagaimana bisa mereka berulang tahun di hari yang sama.
“serius? Aku juga berulang tahun yang ke-17. Kalau begitu kamu harus datang ya. Tidak setiap hari bertemu dengan teman yang ulang tahun di hari yang sama.” Perasaan Ie Lin sudah naik dari senang ke bahagia.

Sejak itu mereka sering bertemu. Cinta di hati Ie Lin semakin mekar merekah, dan San bao pun semakin hanyut di pesona Ie Lin. Dia tahu bahwa dia sudah jatuh cinta kepada gadis itu. Semakin hari semakin sulit mundur. Seluruh hati dan pikirannya sudah dipenuhi oleh bayangan Ie Lin, bayangan Li Hua semakin memudar dan hilang.
“Besok kami ada undangan untuk pentas di desa sebelah. Aku akan berangkat dengan beberapa orang dari kelompok pertunjukan, maukah kamu pergi bersama kami? Anggap saja jalan-jalan ke desa sebelah. Kita bisa berpetualang, pasti seru.”
“Baiklah, saat kembali ke desa sebelah, kita akan melewati tepi desa, aku akan mengajakmu mampir ke rumahku.”
“Benar ya, mengapa aku diajak ke rumahmu, mau dikenalkan ke orang tuamu ya?” Ie Lin hampir melompat kegirangan.
“Oh bukan, hanya mengajak kalian mampir sebentar untuk minum the dan istirahat, ada yang mau kuperlihatkan kepadamu. Orang tuaku bekerja seharian di ladang dan baru kembali saat senja menjelang.”

San Bao mengajak Ie Lan ke gudang di samping rumah tempat semua peralatan ladang disimpan, sementara beberapa orang dari kelompok pertunjukan meminum teh di dalam rumah. Di bagian atas rak kayu ada sebuah peti kayu besar yang dikunci. San Bao membuka peti itu dan mengeluarkan puluhan gulungan lukisan. Dia mulai membuka satu persatu gulungan lukisan itu dan memperlihatkannya kepada Ie Lin.
“Ohhh… ! “ Ie Lin terpekik. “indah sekali lukisan-lukisanmu ini.” Kamu melukisnya sendiri. “Ini kan aku, yang kamu lukis di sini? Sejak kapan kamu melukisnya, mengapa ada sebanyak ini? Kita kan baru kenal 2 bulan.”
“Lukisan-lukisan ini sudah kubuat sebelum aku bertemu denganmu.” San bao menjawab pelan.“Bagaimana mungkin? Melukis seseorang yang belum pernah kamu ketemu?”
 
“Aku melukis wajah Gadis yang sering kulihat di mimpiku, kupikir dia bidadari sampai aku berjumpa denganmu. Dan lihat, ini adalah lukisan kesukaanku walaupun aku tidak tahu mengapa melukisnya begitu.” San Bao mengambil gulungan sebuah lukisan yang diikatnya dengan pita merah.
“Hahhh?” Ie Lin sangat terperanjat karena apa yang terlukis di kanvas itu adalah apa yang dia lihat di mimpinya di hari pertemuannya dengan San Bao. Lukisan Sang Bidadari dan Seekor serigala besar hitam.
“Mengapa kamu begitu terkejut, seaneh itukah orang melukis gambaran mimpinya?”
“Tidak, bukan itu Ah Bao, karena itu juga gambaran dari mimpiku.” Ingin sekali Ie Lin mengatakan, tahukah kamu kalau serigala itu adalah jelmaanmu. Kita sepasang kekasih yang dikutuk di kehidupan lalu. Bidadari yang terlibat hubungan cinta dengan seorang manusia. Namun Ie Lin merasa itu belum saat yang tepat untuk menjelaskan semuanya.
“Mungkin kita ditakdirkan untuk bersama.” Ie Lin berkata malu-malu.
“Aku… entahlah…” San Bao gemetar, tidak tahu harus menjawab apa.
“Entah? Apa maksudmu? Kamu tidak suka?” Ie Lin kaget dengan jawaban San Bao, sama sekali tidak menyangka. Dia tahu kalau pria yang sederhana dan baik hati ini juga mencintainya.
“Aku…. Aku tidak bisa menjawabnya sekarang.” Aduh, kepala San Bao berkunang-kunang, bagamana menceritakan Li Hua kepada Ie Lin dan menjelaskan Ie Lin kepada Li Hua dan kedua orang tuannya?
“Apaa?? Ya sudah kalau kamu tidak suka padaku, aku pergi.” Ie Lin merajuk dan segera angkat kaki. San Bao mengejar dari belakang.
“Tunggu Ah Lin, bukan begitu maksudku. Jangan salah paham.” Namun Ie Lin langsung masuk ke dalam rumah.
“Ayo, kemas-kemas sekarang, kita pulang sekarang juga. Jangan lama-lama di tempat orang yang tidak suka dengan kita.” Wah ternyata Ie Lin ngambek berat.
“Huh, apa yang salah denganku, apa yang salah? Mengapa aku ditolak sama pria dungu itu? Ihh…” Sepanjang jalan Ie Lin menggerutu. Orang-orang di kelompok pertunjukannya tidak berani bertanya, mereka tahu bagaimana tabiat Ie Lin yang manja kalau sedang merajuk. Ah paling pertengkarang kecil sepasang kekasih, pikir mereka.

Malam itu, San Bao memberanikan diri menghadap ayah dan ibunya. Dia menceritakan pertemuannya dengan Ie Lin, dan mengakui telah jatuh cinta pada gadis itu. Apa yang harus dia perbuat. Ibunya kontan menangis dan ayahnya menjerit.
“Tidak bisa, kamu tidak bisa berbuat begitu! Tidak bisa, kamu sudah bertunangan dengan Li Hua sejak 5 tahun. Kamu tidak bisa membatalkannya. Mau ditaruh dimana muka ayah? Mau ditaruh di mana kehormatan keluarga kita? Ikatan ini dibuat sebagai penghormatan ayah kepada ayah Li Hua yang telah menyelamatkan nyawaku. Dari pada kamu membatalkannya, lebih baik kamu membunuhku!”
Harga matilah sudah. Sempat terbersit di pikirannya untuk meminta penertian Li Hua, jika gadis itu mau memahami dan mundur mungkin semua orang bisa mengerti. Ah tidak, pemikiran tolol apa pula itu. Selama ini hanya San Bao dan orang tuanya yang ada dikehidupan Li Hua. Tidak mungkin dia sanggup menerimanya.

Dengan lunglai San Bao melangkah ke tempat pertunjukan Ie Lin. Dia harus segera menjelaskan apa yang harus dijelaskan. Sudah beberapa hari mereka tidak bertemu, selama itu juga San Bao bertarung dengan dirinya sendiri. Dengan seluruh hatinya dia bisa mengajak Ie Lin pergi. Tapi pikirannya tidak mengijinkan semua itu terjadi, apa yang akan terjadi dengan ibunya yang sudah tua, rapuh dan sakit-sakitan. Ayahnya yang menderita penyakit jantung, bagaimana jika Li Hua bunuh diri. Dia tidak sanggup mengorbankan semua orang yang dikasihinya sekalipun itu demi kebahagiannya.
Maka berdirilah dia sekarang di sini, menatap Ie Lin yang sedang memetik harpa dalam gundah. Dentingan dawai harpa berhenti, Ie Lin mengangkat kepalanya,
“mau apa kamu kemari?” walaupun hatinya menjerit senang.
“aku perlu berbicara kepadamu dan menjelaskan beberapa hal.” San Bao tidak sanggup menatap wajah Ie Lin.
Ie Lin akhirnya mempersilahkan San Bao duduk. Hatinya berdebar-debar cemas melihat penampilan San Bao yang begitu kusut. Hatinya tidak enak, sesak dan menekan ulu hatinya.
“Ie Lin, jangan salah paham, aku sangat menyukaimu. Bahkan aku sangat mencintaimu. Tapi aku tidak bisa bersamamu, karena aku sudah bertunangan, dijodohkan dari kecil oleh orang tuaku.” San Bao mulai bercerita sambil terus menunduk. Ie Lin hampir pingsan mendengarnya.
“Mulai sekarang, sebaiknya aku tidak datang menemuimu lagi. Engkau bisa melanjutkan hidup dan masa depanmu yang pasti akan jauh lebih baik jika tidak bersamaku.” Ie Lin menangis tidak kuasa menahan perasaannya. Dia tidak sanggup berkata sepatah katapun. Udara seolah-olah berputar, dia merasa sangat pusing.
“Selamat tinggal Ie Lin, aku selalu mendoakan kamu bahagia.” San Bao berdiri, melangkah keluar dari ruangan tanpa menoleh lagi. Dia tahu dia baru saja mematahan hati Ie Lin, seperti dia baru saja menghancurkan hatinya sendiri.
“Badanmu panas sekali nak…” Ibu Ie Lin cemas, “kamu sakit apa Ah Lin, mengapa badanmu demam tinggi begini?” sepulang dari tempat pertunjukan, Ie Lin langsung mengurung dirinya di kamar dan tidak keluar-keluar lagi hingga ibunya mencarinya sore hari.
“Ibu akan memanggil tabib, nak.”
“Aku tidak apa-apa ibu, besok aku akan baik-baik saja. Mungkin aku kecapekan.”
Tapi keesokan harinya Ie Lin bahkan tidak bisa bangun. Demamnya semakin tinggi, dan menggigau. Di mimpinya dia menyebut-nyebut “Ah Bao..Ah Bao..”
Ayah dan Ibunya bingung siapa nama yang disebut-sebut anak gadisnya.
“kamu tahu siapa Ah Bao? “ Tanya ayah Ie Lin.
“Tidak. Kamu juga tidak tahu? Mungkin anak-anak rombongan pertunjukan tahu.”
“Coba Tanya mereka.”
Ibunya kembali tak lama kemudian dengan lesu.
“Kata Ah Cin, Ah Bao itu nama anak laki-laki teman bermain Ie Lin, dan sepertinya mereka mempunyai hubungan khusus”
“Oh… siapa anak itu. Siapa orang tuanya.”
“Beberapa anak rombongan pernah bermain ke rumahnya. Dia anak peladang miskin yang tinggal di tepi desa. Apakah kita cari dan bawah kemari.”
“Tidak usah!” ayah Ie Lin menjawab ketus. “Ah Lin segera akan melewati masa-masa sulitnya.”
Namun racauan Ie Lin menjadi-jadi, nama yang disebutkan juga bertambah,”Yee Lan…. Yu Nan…..”
Orang tuanya bertambah pusing, siapa pula Yee Land an Yu Nan? Namun kali ini anak rombongan pertunjukan tidak ada yang mengetahui.
Beberapa tabib yang diundang tidak dapat menemukan Ie Lin sakit apa. Akhirnya dianggap Ie Lin tidak sadarkan diri karena demam panasnya terlalu tinggi. Namun penyebabnya apa, mereka juga tidak mengetahui. Akhirnya tabib-tabib itu hanya memberikan ramuan obat penurun panas.

Sakit yang bersumber pikiran dan hati memang tidak tepat diatasi oleh obat untuk fisik. Badannya pun semakin lemah. Tak seorangpun tahu apa sesungguhanya yang dialami Ie Lin, selama demam tinggi itupun, jiwanya pergi ke atas bukit. Di sana dia menangis pilu. Rencana nirwana memang tidak mudah dipahami. Mengapa di kehidupan inipun mereka tidak dapat berjodoh. Belum cukupkah penantian ribuan tahun, kapan rantai ini dapat diputuskan. Yee Lan, jiwa yang sama dengan Ie Lin memutuskan untuk tidak kembali. Jika memang mereka tidak dapat bersatu di kehidupan ini, dia tidak ingin melanjutkan kehidupan yang sama di dunia, apalagi ini Yu Nan dalam wujud San Bao yang menolaknya sendiri. Jika dia menceritakan yang sesungguhnya kepada San Bao, akankah dapat merubah semuanya? Ataukah dia kembali menempatkan jiwa Yu Nan dalam posisi yang lebih sulit lagi. Ya, dia telah memutuskan untuk tidak kembali, menunggu di tempat perencanaan, menunggu Yu Nan agar dapat bersama-sama dilahirkan kembali.

“Ie Lin.. Ie Lin… sadarlah kau nak…” Ibunya menangis memanggil-manggil nama anaknya sambil duduk di tepi dipan pembaringan Ie Lin.
“Maafkan aku ibu…” anaknya menjawab lirih dari atas bukit.
Namun Yee Lan pun tahu, jika dia tidak bisa menerima takdir ini di kehidupan ini, jiwanya tidak akan berpulang dengan tenang ke tempat penantian. Dia pun mengiklaskan bahwa di kehidupan ini belum saatnya berjodoh kembali dengan Yu Nan dan dia sepenuhnya menerima takdir ini. Seketika itu juga jiwanya tenang dan tersenyum.
Kepala dan tangan Ie Lin pun terkulai dan menghembuskan nafas terakhirnya. Jiwanya melihat ibunya menangis meraung-raung dan ayahnya berlari masuk kamar dan langsung memeluk jasadnya yang terbujur kaku. Ie Lin melihat semuanya dengan perasaan damai.

Hari pemakamam Ie Lin, ramai dihadiri oleh keluarga, anggota rombongan pertunjukan, tetangga dan penggemar-penggemarnya. Semua orang menyayangkan kematiannya yang masih begitu muda. Apalagi tersiar desas desus jika Ie Lin meninggal karena patah hati. San Bao menyeruak di antara kerumunan orang, mencoba berbaur di keramaian dan berusaha tidak menarik perhatian. Dia tidak ingin bertemu dengan anggota rombongan pertunjukan yang mengenalnya, apalagi orang tua Ie Lin jika sampai mengetahuinya. Dia merasa bersalah, sangat bersalah. Hatinya penuh penyesalan, menyalahkan dirinya sendiri.
“Ie Lin, bawalah cintaku pergi bersamamu..” San Bao cepat-cepat menghapus air mata yang jatuh dengan lengan bajunya.
“San Bao…” tak salah dengarkah? Dia mendengar suara merdu Ie Lin memanggil namanya.
San Bao menoleh, takjub melihat Ie Lin berdiri tak jauh di belakangnya sambil tersenyum.
“Ah Bao, aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal. Ijinkan aku tetap tinggal di hati dan lukisanmu. Kelak engkau akan mengerti, bagaimana engkau bisa melukisku jauh sebelum kita pernah bertemu.” San Bao mulai menangis.
“Ikutilah panggilan takdirmu. Jalani semua pilihan peranmu. Selamat tinggal San Bao, atau boleh aku memanggilmu Yu Nan, sampai jumpa dikehidupan mendatang.” Ie Lin pun berlalu sambil tersenyum.
“Yu Nan, siapa itu?” rasanya San Bao pernah mendengar nama itu. “di mana ya? Oh ya, dimimpiku.. kalau tidak salah, bukankah bidadari itu memanggil serigala hitam besarnya dengan nama itu… ah… entahlah… aku tidak mengerti.”
San Bao melangkah pulang ke rumahnya, yang tenang di tepi desa. Langkahnya kini lebih ringan dari pada sebelumnya. Setidaknya dia tahu Ie Lan pergi dalam senyum. Dia pun pulang untuk meneruskan pilihan takdirnya di kehidupan ini, tanpa dia sendiri mengerti.

The End

“You are what you choose TO BE”
21 Aug 2011 
by Fiona Wang

Sabtu, 26 Mei 2012

The Legend of Yee Lan - part 1



Yee Lan menuju ke puncak bukit, duduk di ujung tebing dan mulai memandang ke bawah. Jauh menembus awan, pandangannya menerawang menyapu desa. Ah, apa lagi pemandangan hari ini yang kan dilihatnya, apakah tukang daging sudah memaafkan anak gadisnya, ataukah tetap mengusirnya. Yee Lan tidak sependapat bahwa itu sepenuhnya kesalahan anak gadis yang malang  itu sampai dia hamil diluar nikah. Bagaimana nasibnya kalau dia malah diusir dari rumah. Lalu bagaimana kabar si tukang kayu hari ini? Apakah anak laki-lakinya yang kurang ajar dan tidak tahu diri itu masih tidak bersedia masuk hutan untuk membantu ayahnya? Alasan apa lagi yang digunakannya hari ini untuk tidak membantu? Berpura-pura sakit lagi? Huhhhh, Yee Lan geram sekali dengan anak muda itu, dasar pemalas. Memang susah berada di atas sini tanpa melibatkan emosi. Sayang mereka tidak boleh campur tangan dengan urusan semua manusia di bawah.

“kakak, apa yang kakak lakukan di sini?  Haahhhhhh melihat lagi di bawah? Tidak bosankah setiap hari kakak melihat kelakuan mereka? Apa sih yang menarik?” Kim lan adik perempuannya melayang bak terbang kearah batu di ujung tebing tempat dia duduk.
Yee Lan hanya tersenyum, tidak sukakah kau menonton drama? “
 “ Saya suka nonton pertunjukan panggung sandiwara.” Kim lan memandang tak mengerti arah pertanyaan Yee Lan.
“ Di bawah inilah panggung sandiwara yang sebenarnya, dimana drama kehidupan dipentaskan.”
“Oh ya? aku tidak paham maksudmu,” bidadari muda itu mengerutkan dahinya.
 “Kelak engkau kan paham segalanya saat waktunya tiba…”
“Kapankah itu, kapan? Aku sudah tidak sabar menjadi pintar seperti kakak. Kapan waktunya tiba kak?” Kim Lan tidak sabar bertanya sambil menarik-narik jubah kakaknya.
 Yee Lan tersenyum berkata,”kapan waktunya tiba, tak ada yang tahu, namun satu hal, itu akan menjadi waktu yang paling tepat untukmu.” Yee Lan memeluk Kim Lan penuh kasih.

Setelah kim lan berlalu meninggalkan dirinya dalam kesepian yang hening, pandangannya kemarin menerawang… teringat dia akan kekasihya yang sekarang masih mengelana di bumi dalam wujud serigala. Setiap bulan ketika purnama tiba, sang kekasih akan menuju puncak bukit, melolong panjang sambil memandang ke bulan, menyampaikan pesan dan kerinduannya pada Yee Lan. Namun hanya setiap malam purnama ke tujuh setiap tahun keduanya diijinkan bertemu an Yu Nan kembali wujud manusia. Dan ini sudah berlangsung ribuan tahun, menjadi saat penantian dari setiap helaan napasnya.


Ingatannya terbang ke saat itu terjadi, dimana Yee Lan bersama beberapa bidadari lain turun ke bumi. Belum pernah dia bertemu dengan seorang manusiapun yang menawan hatinya seperti ini. Yu Nan, seorang pemanah, pemburu yang seharusnya jenis manusia sangat di bencinya, si perusak kehidupan. Itu label dari dia sebelum dia bertemu dengan Yuh Nan, yang membuatnya mencoba memahami manusia, bahwa apa yang dilakukannya hanyalah demi kelangsungan hidupnya.
                                                                                                                            
Yee Lan pun semakin sering turun ke bumi, sendiri dengan menyamar sebagai gadis dari desa sebelah. Demikian berlangsung hamper setiap hari hingga ayahandanya mengetahui. Saudarinya yang iri telah mengadukannya ke ayahandanya sehngga sang raja langit begitu murka. Titah sudah turun, tak terbantah, Yee Lan dilarang untuk menginjakkan lagi kakinya ke bumi. Karena Yee Lan membantah, kekasihnya pun di kutuk menjadi serigala.

Menyesalkah? Pertemuan setahun sekali tetap begitu indah dari pada kenihilan yang membunuh napas jiwanya. Setahun sekali yang dinanti, malam purnama ketujuh, dimana Yee Lan akan melayang turun ke bumi, mengenakan jubah terindahnya, untuk berjumpa dengan kekasihnya yang menantinya di puncak bukit dalam wujud manusia. Keduanya bersua melepas kerinduan dan memadu kasih sebelum fajar tiba, saat Yee Lan harus kembali pulang ke langit. Terlambat sedikit saja, ketika matahari terbit dan dia belum kembali ke langit, selamanya dia akan menjadi manusia dan terperangkap di bumi, begitu ancaman Ayahandanya.

Pagi yang begitu cerah, namun kalah dengan cerahnya hati Yee Lan. Bagaimana tidak? Malam ini adalah purnama ketujuh. Artinya malam ini dia akan dapat berjumpa dengan kekasihnya. Hatinya bahagia tak terkira. Sudah beberapa malam ini ia tidak dapat tidur. Bibirnya selalu tersungging, hatinya selalu ingin tersenyum. Seisi kahyangan kembali berbisik-bisik. Ah si Yee Lan kembali kumat, biasa setahun sekali. Banyal juga yang mencibir, hanya bidadari sinting yang bisa terpikat manusia bumi. Tidak sedikit juga saudarinya yang terang-terangan memusuhinya,”tempatmu seharusnya sudah tidak di sini, sejak keputusan itu kamu buat.” Namun semua itu sudah dapat ditanggungnya tanpa beban. Semua cercaan itu sudah diterima sebagai risiko dari pilihannya. Ibundanya sampai meneteskan air mata haru, “anakku, bahagia sekali Ibu bisa melihatmu tersenyum kembali. sudah lama Ibu ingin melihatmu bisa tersenyum lagi, ibu ingin engkau kembali seperti dulu, ceria penuh tawa, bisakah anakku?” Yee Lan bersimpuh dikaki Ibundanya dan berkata,”maafkan aku ibu, jika aku ternyata mengecewakan ibu. Bahagiaku adalah ketika aku bisa bersama kekasihku tercinta. Saat ini aku tersenyum karena hari bahagiaku segera tiba. Namun ketika aku pulang meninggalkannya di sana, kebahagianku juga tertinggal bersama dia.”  Sang Ibunda meneteskan air mata dan berucap,”semoga suatu hari ini langit akan terharu dengan tulusnya cintamu, dan mengijinkan kalian untuk bersatu.”

Yee Lan sambil bersenandung indah kembali duduk di atas tebing dan menatap ke bawah desa. Ah, bahkan hari ini pun suasana terasa jauh lebih indah, desiran angin, segala bunga dan rumput pun serasa bernyanyi bersamanya menciptakan melodi yang begitu mempesona. Tapi hey, apa yang terjadi di bawah sana? Sepertinya ada ribut-ribut di rumah si kepala desa. Tuan tanah yang sombong, Yee Lan tidak suka dengan manusia satu itu. Bisanya hanya menggunakan harta dan kekuasaannya untuk mendapatkan jabatan. Mengeruk keuntungan dari rakyat, jauh dari pemimpin yang baik. Bisa gempar juga rumahnya, apa yang terjadi? Biasanya hanya gegap gempita pesta pora yang terdengar dari rumah megah bak istana itu.

Oh rupanya, putri tunggal sang kepala desa, baru saja memohon restu dari ayahnya agar diijinkan menikah dengan anak laki-laki si tukang sayur. Jika ayahnya merestui, putra si tukang sayur akan segera melamarnya. Walaupun hatinya ragu, namun dia tetap maju.
“Appaaaaa???!!!” si tuan tanah yang juga menjabat kepala desa menggebrak meja. Saking kuatnya, Pei Huang, putrinya hampir terlompat dan istrinya yang tidak pernah berani bersuara pun tersentak pucat.
“Apa kamu sudah gilaaa???” dua tamparan keras mendarat di pipi Pei Huang. Rasanya sakit sekali, tapi jelas, lebih perih lagi yang dirasakan hatinya.
“siapa yang mendidikmu hingga dungu begini???” sambil menoleh ke istrinya, “Pasti kamu, perempuan bodoh tak berguna. Bagaimana kamu mendidik anakmu heh, sampai dia bisa keluar dari rumah dan bergaul dengan rakyat jelata itu??” Dia menghardik istrinya dengan geram, matanya melotot dan tangannya terkepal. Setiap saat kepalan itu bisa saja dilepasnya ke wajah atau muka seseorang. Temperamennya sungguh buruk.

“a..a…anak itu hmm sering mengantar pesanan sayur ke..ke..kemari,” istrinya menjawab tergagap-gagap, jantungnya mau copot, lidahnya kelu sulit bicara. Syndrome itu sudah muncul sejak dinikahkan oleh ayahnya ke pria kasar ini.
“TOLOLLLL, dasar dua perempuan tolol. Kurang ajar sekali anak itu, tidak tahu diri? Apa tidak sadar dia siapa dirinya. Mulai hari ini dia tidak boleh lagi menginjakan kakinya di rumah ini, kalau sampai nongol lagi, akan kucincang dia! Kuhabisin! Dan kamu! Kalau berani bertemu dia lagi, kupatahkan kakimu, dengar itu!” Napasnya memburu seperti naga menghembus api.
”Pei Huang, kamu harus ingat siapa dirimu, asal kamu tahu, beberapa pejabat dari kota sudah mau melamarmu untuk anak laki-lakinya. Dan aku belum memutuskan memilih yang mana. Masih kupertimbangkan siapa kira-kira yang dapat memberikan mas kawin yang lebih baik hahahaha….siapa yang bisa memperkuat posisiku. Aku mengincar posisi Bupati hahahahahah kamu tidak usah khawatir tidak mendapat suami. Ayah akan memilih yang terbaik untuk menjadi menantuku hahahhahahahaha.” Dia pun berlalu begitu saja dari ruangan itu meninggalkan Pei Huang yang menangis pilu dan ibunya yang mengelus-ngelus rambut putrinya dengan lembut.

“Ibu, aku sebenarnya sudah menduga bahwa ayah tidak akan setuju. Dan kamipun sudah membuat sebuah rencana. Kami akan lari ibu, pergi meninggalkan desa kita.”
“Apa?? Kamu mau minggat, meninggalkan ibu?” sang Ibunda kaget bukan kepalang. Anaknya yang begitu lemah-lembut dan tidak pernah memutuskan apapun seumur hidupnya, mau minggat??
“Ampuni aku ibu, tapi aku tidak melihat cara, bagaimana bisa tetap bersamanya jika aku tetap di sini, bagaimana aku hidup nanti, tidak masalah, selama bersama dia, aku akan baik-baik saja.”
Istri sang tuan tanah berpikir keras. Sudah 20 tahun dia hidup dalam kecemasan dan ketidakberdayaan. Dia tidak ingin anaknya menderita seperti dia. Ayahnya adalah juga seorang kepala desa di wilayah lain. Tidak pernah sekalipun dia mengeluh karena malu pada ayahnya, sudah begitu lama semuanya dia tanggung sendiri.
“Pergilah anakku.. “ lirih suaranya hamper tidak terdengar
“benarkah? Ibu merestui kepergianku” Pei Huang hamper tidak mempercayai apa yang dia dengat.
“Ya, pergilah, ambil kesempatanmu untuk bahagia. Mungkin ini jalan satu-satunya.” Sang ibu berusaha tersenyum diantara deraian air mata.
“oh terima kasih ibu, terima kasih….” Pei Huang memeluk ibunya erat-erat. Bukannya dia tidak mengetahui beban bantin ibunya selama ini, hatinya sangat iba.
“Ayahmu mungkin akan menganggapmu sudah mati ketika tahu engkau menghilang, namun setidaknya ibu tahu jiwamu hidup, dari pada engkau tetap tinggal disini namun jiwamu mati.”

Yee Lan menangis, lebih kuat tangisannya dari pada tangisan Pei Huang. Duduk tersungkur memeluk sebuah batu besar, dia menangis sejadi-jadinya. Yee Lan seolah melihat cermin dirinya sendiri. Pagi ini dia telah belajar dari seorang anak manusia. Pagi ini Pei Huang telah mengajarkan dia tentang keberanian, pengorbanan, berani mengambil risiko. Sesuatu yang tidak dia miliki hingga ribuan tahun ini. Membiarkan sang kekasih menghadapi takdirnya di bumi seorang diri, adilkah dia. Tiba-tiba dia bangkit dan tersenyum, kakinya mantap melangkah kembali ke istana.

Yee Lan memang bidadari tercantik di kahyangan, wajahnya sangat rupawan, anggun, memancarkan kebaikan dan kelembutan. Ketika kakinya menginjak bukit, segera dia berlari memeluk kekasihnya Yu Nan.
“Engkau tidak akan sendiri lagi?”
“Apa maksudmu?”
“Tidak apa-apa,” Yee Lan hanya tersenyum menggandengnya pergi.
Ketika Fajar hampir menyingsing, Yu Nan memeluknya semakin erat..
“Ini adalah saat terpedih untukku, ketika harus melepasmu pergi,” Yu Nan mulai menangis.
“Aku tidak akan pernah melepaskan pelukanku lagi” Yee Lan membalas pelukan kekasihnya lebih erat lagi.
“Sebentar lagi matahari muncul, engkau harus pergi Yee Lan”
“Tidak, aku akan tinggal bersamamu disini”
“Apa yang kamu lakukan? Tidak, kamu harus kembali, kalau tidak selamanya engkau tidak akan bisa pulang lagi.” Yu Nan berusaha melepaskan pelukannya.
“Aku memang tidak ingin kembali. Adalah pilihanku untuk tinggal di bumi.”
“Sebentar lagi aku juga akan kembali ke wujud serigalaku, untuk apa kamu di sini?”
“Aku akan menantimu disini, menjadi manusia, tinggal bersamamu sekalipun wujud kita berbeda.”
“Oh Yee Lan…” Yu Nan menangis sangat terharu.
Mereka terus berpelukan, Langitpun mulai terang. Dari dalam kepalanya, Yee Lan mendengar suara Kim Lan yang mencarinya,
“Yee Lan, apa yang terjadi, mengapa engkau belum kembali? Aku dan ibu mengkhawatirkanmu.”
“Kim Lan, Ibu, aku tidak akan kembali. Aku sudah memilih takdirku menjadi manusia di bumi.” Yee Lan berkata mantap sekali, “Maafkan aku, Ibu, sampai jumpa jika berjodoh lagi.”
Matahari pun mulai muncul, pertanda waktunya sudah habis, Yee Lan merasakan seperti ada spirit kekekalan yang lepas dari dirinya. Dia memungut sebuah ranting, dan menggorekan ke lengannya, berdarah! Aha! Dia sudah seutuhnya menjelma menjadi manusia. Namun saat itupun dia menjerit melihat Yu Nan perlahan berubah wujud menjadi seekor serigala kembali.
Tiba-tiba langit menggelegar seperti suara petir,
“Yee Lan!” itu suara ayahnya.
“Berani sekali melanggar perintahku. Sekarang terimalah hukumanmu! Terima takdir barumu menjadi manusia, merasakan penderitaan. Engkau sudah terusir dari kahyangan dan tidak dapat kembali selamanya. Namun karena kekuatan cintamu, serigala itu dapat terlahir menjadi manusia kembali di kehidupan berikutnya”
Yee Lan bersujud hingga ke tanah pertanda dia menerima segalanya. Hatinya tetap bahagia. Dia tahu dia telah melepaskan kekasihnya dari kutukan. Mungkin saja ada kesempatan bagi mereka berjodoh dikehidupan berikutnya.

by Fiona Wang
sekali kali menghibur Sahabatku dengan menulis Cerpen or Cerbung hehehe